Catatan : M. J. Latuconsina

Segelintir publik di Maluku memiliki ekspetasi agar Presiden RI terpilih Prabowo Subianto memanggil putra-putri terbaik Maluku dikediamannya di Jalan Kertanegara IV, Jakarta Selatan sebagai calon Menteri di kabinetnya mendatang.

Ada yang protes, dan bertanya kenapa hingga saat ini eks Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pang Kostrad) itu belum juga memanggil putra-putri terbaik Maluku. Mereka menginginkan putra-putri asli Maluku, yang dipanggil bukan figur yang lahir di Maluku.

Mereka pada cemburu mengapa Natalius Pigai putra terbaik Papua kelahiran Paniai, seorang aktifis HAM telah dipanggil presiden terpilih. Padahal putra-putri terbaik Maluku juga tidak kalah berkualitas dengan Pigai. Mereka juga selalu bandingkan Maluku dan Papua.

Dalam pandangan mereka,  dahulunya orang Maluku sudah lebih dulu mengeyam pendidikan modern di era Hindia Belanda hingga era  kemerdekaan. Bahkan dahulunya di era Hindia Belanda dan pasca penyatuan Irian Barat ke Indonesia, justru banyak guru-guru dari Maluku yang mengajar di sekolah-sekolah di Papua, untuk mencerdaskan generasi muda Papua kala itu.

Ekepetasi publik Maluku yang demikian, pada akhirnya kita hanya berkutat dan berpolemik panjang lebar pada identitas figur, yang cenderung ”sektarian”. Bukan saja saat ini,  tapi sebelum-sebelumnya pada beberapa tahun  lalu pasca Pilpres selalu saja begitu, ternyata kita putara ulang ”kaset lama”. Tanpa kita sadari dari sisi figur dan kekuatan bargaining yang kuat ada pada sosok Bahlil Lahaladia.

Pasalnya jejek rekam karier sebagai aktifis, pengusaha dan politik reprersentatif pada tokoh muda kelahiran Banda Naira, Maluku pada 7 Agustus 1976 lampau.  Begitu pula ia adalah Ketua DPP Partai Golkar, dimana dari sisi bargaing sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan  Preside Prabowo Subianto pada awal, pertengahn hingga akhir nanti.

Berbagai kebijakan strategis pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, sangat membutuhkan support rill dari Partai Golkar. Mengapa demikian ? pasalnya, dari sisi pelembagaan (instusionalisasi) :

1). Partainya sudah matang. Hal ini dilihat dari stabilitas partai warisan Orde Baru ini dalam kompetisi antara partai, Pemilu era Reformasi sejak 1999 sampai Pemilu terakhir 2024 Partai Golkar tetap stabil perolehan suaranya.

Dengan rengking suaranya pada 6 kali Pemilu era Reformasi kebanyakan berada pada posisi runner up (kedua), hanya sekali pada Pemilu 2004 berada pada posisi kesatu perolehan suara.

2). Dari sisi pengakaran partai ini di tengah masyarakat sudah terealisasi dengan baik, dimana  warga masyarakat selaku pemilih mengenal Partai Golkar dengan baik pula.

Bahkan partai politik yang pernah di pipin Bung Harmoko ini, tidak mengantungkan nasibnya pada figuritas populer kharismatik layaknya PDI Perjuangan, Nasdem, Demokrat,  PKB dan Gerindra.

Siapapun figur yang menjadi Ketua  DPP Partai Golkar dan lantas turun dari jabatannya, partai ini tetap stabil, dimana tidak terjadi huru-hara politik secara berkepanjangan dan alot.

Ini dibuktikan dengan banyaknya pemilih, yang sering memilih partai ini dalam tiap kali Pemilu yang dihelat.

3). Legitimasi partai dan Pemilu, dimana  Partai Golkar selalu bersanding dengan siapapun partai pemenang Pilpres, untuk duduk dalam jabatan-jabatan di Pemerintahan seperti sebagai menteri dan wakil menteri, serta jabatan-jabatan strategis lainnya setingkat menteri.

Berikutnya 4). Mengukur dan menguji partai-partai sebagai suatu organisasi, tentu Partai Gokar dibawah kepemimpinan Bahlil sudah terealisasi sebagai suatu organisasi partai politik modern. Hal ini dilihat dari kemampuan parftai politik berlogo pohon beringin ini merealisasikan fungsi-fungsinya secara baik, untuk kepentingan publik di tanah air.

Relevan dengan itu, Scott Mainwaring dan Timothy Scully di Building Democratic Institutions (1995), mengusulkan empat kriteria melihat tingkat institusionalisasi dalam sebuah sistem kepartaian.

Pertama stabilitas dalam kompetisi antar-partai, kedua dalam hal apakah partai berakar dalam masyarakat, ketiga adalah legitimasi partai dan pemilu dalam menentukan yang tepat untuk memerintah, dan keempat adalah mengukur dan menguji partai-partai sebagai suatu organisasi.

Oleh karena itu, figur Bahlil yang sering dipolemikan identitasnya tak berkesudahan. Pasalnya ada yang beranggapan ia dari Papua, Maluku, dan Sulawesi Tenggara. Jelasnya Bahlil bukanlah seorang figur ”naturalisasi”. Pasalnya  Bahlil lahir di Banda Naira, menemupuh pendidikan SD di Banda Naira hingga letusan Gunung Api Banda tahun 1988.

Bahlil dan kelaaurganya pun hijrah ke Pulau Geser Seram Timur dan di pulau mungil itu ia melanjutkan pendidikannya. Hingga kemudian ia hengkang ke Fak-Fak untuk melanjutkan pendidikan SLTP, dan SLTA di kabupaten berjuluk Kota Pala itu.

Selanjutnya ia mengeyam pendidikan tinggi pada salah satu perguruan tinggi di Kota Jaya Pura yakni, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Port Numbay. Pointnya adalah identitas Bahlil suka atau tidak suka, dia adalah putra terbaik Banda Naira, Maluku. Sehingga dalam perpektif geo politik bisa digambarkan dengan kata-kata bahwa, ”Banda Naira adalah Maluku, Maluku adalah Banda Naira”.

Tanpa Banda Naira dalam peta Kepulauan Maluku, maka tentunya seluruh peradaban kebudayaan dan agama-agama samawi/Abrahamic (Islam, Katolik&Protestan) besar, yang berasal dari Asia Barat dan Eropa Barat di Maluku tidak akan ada, dan kita anut (*)

 

Penulis adalah Dosen di Universitas Pattimura Ambon