Buruh bukan kerbau yang selalu salah, dan pemerintah bukan dewa termasuk pengusaha yang selalu benar. Semuanya bernaung di bawah negara. Keberadaan dan perannya selaku warga negara Indonesia, sudah sepatutnya kaum buruh jangan dipandang dengan “sebelah mata”.

Gaya marjinalisasi terhadap warga negara sesungguhnya itu sikap pengbangkangan sekaligus perlawanan terhadap sebuah negara demokrasi.

Padahal, kehadiran negara demokrasi itu endingnya memberi kesejahteraan dan keadilan terhadap seluruh warga negaranya.

Indonesia menganut sistim demokrasi, tetapi dalam perjalanan praktiknya  justru para elite di negara ini belum sepenuhnya mengaktualisasikan tujuan dari demokrasi itu sendiri.

Misalnya eksistensi dan peran buruh! Aneka masalah kerap muncul dan menimpa (mengorbankan) kaum buruh. Para buruh sering jadi korban akibat pembuatan regulasi dan kebijakan pemerintah yang sering melemahkan eksistensi kaum buruh itu sendiri.

Upaya pengkebirian dan tindakan kesewenang-wenangan itu pun mudah dilakukan oleh oknum pengusaha (perusahaan) terhadap kaum buruh di negeri ini.

Pelanggaran terhadap hak-hak buruh bukan merupakan ihwal baru. Masalah ini sudah lama berlangsung dari orde ke orde hingga sekarang. Pratiknya massif, terstruktur dan sistematis. Buruh sering jadi korban kesewenang-wenangan pemerintah maupun oknum pengusaha.

Bentuknya mulai PHK sepihak, pemberangusan serikat pekerja, sistem perbudakan modern (outsourcing), dan upah murah termasuk pengabaian jaminan sosial, adalah kompleksitas masalah yang dialami para buruh di Indonesia termasuk di wilayah Maluku.

Kaum Buruh juga pemberi pendapatan bagi negara dan daerah dari segi pembayaran pajak dan lain lain. Hak-hak buruh tak seharusnya diabaikan begitu saja.

Banyak laporan tentang pelanggaran hak normatif buruh yang diabaikan oleh lembaga hukum di Republik ini. Misalnya pemberian upah yang tidak sesuai ketentuan.

Saat ini masih ada perusahaan yang memberikan upah senilai Rp700.000, dan mentok Rp.1000.000. Padahal, nilai yang seharusnya minimal sebesar sesuai UMP dan UMK di atas Rp2. juta.

Pula PHK terhadap pekerja (buruh) kadang harus mencari perlidungan di isntasi pemerintah seperti Dinas Tenaga Kerja Provinsi maupun Kabupan dan Kota. Namun ada saja lobi-lobi terselubung, sehingga oragnisasi serikat buruh harus pontang-panting dalam advokasi.

Deretan peristiwa yang pernah muncul di hadapan publik menjadi sebuah tanda tanya besar akan penegakan hak asasi manusia di Indonesia dan khususnya di Maluku.

Buruh membantu Pemerintah dalam soal pendapatan negara/daerah. Masa depan mereka belum tentu sejahtera. Setiap 1 Mei, diperingati sebagai Hari Buruh Sedunia yang dikenal dengan istilah “May Day.

Dari sejarah ditetapkannya “May Day” berasal dari aksi buruh di Kanada pada 1872 untuk menuntut diberlakukannya delapan jam kerja sehari. Kemudian sejak 1886, 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Sedunia oleh Federation of Organized Trade and Labor Unions.

Secara umum, urgensi dari May Day diperingati sebagai momentum bagi kaum buruh untuk memperjuangkan nasibnya dengan menyuarakan aspirasi terhadap kebijakan di bidang ketenagakerjaan yang ditetapkan pemerintah.

Salah satu isu yang mencuat pada 2006 adalah rencana revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Disusul lagi pembuatan UU Cipta Kerja yang kontroversial. Gelombang protes di mana-mana menolak pemberlakuan produk atau aturan tersebut karena dinilai sangat mengabaikan kaum buruh.

Sampai-sampai pemerintah meminta pakar hukum perburuhan dari lima perguruan tinggi ternama di Indonesia untuk mengkaji ulang UU, meski sampai kini tidak jelas kelanjutan dari rencana tersebut.

Sejumlah aturan dibuat erkait ketenagakerjaan. Diantaranya UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, yang bertujuan meningkatkan perlindungan hukum kepada pekerja. Dan terbaru adalah UU Cipta Kerja.

Standar perlindungan hukum sampai sekarang masih menjadi “tanda tanya” bagi kaum buruh, karena terjadi multiinterpretasi.

Buruh dan penganggur terus mengalami kesulitan dalam mengarungi kehidupan karena tingkat upah dan keterampilan rendah.

Penganggur masih menghadapi berbagai kendala untuk memperoleh pekerjaan yang layak bagi kehidupannya.

Nelayan tradisional kalah akibat perkembangan teknologi, mereka justru menjadi penonton dan bahkan korban kemajuan teknologi tersebut. Itu karena tingkat penguasaan akan cara tangkap dan lain sebagainya masih minim.

Kelompok margin di perkotaan atau urban pun mengalami kesulitan guna bertahan hidup. Bbahkan sering menjadi persoalan bagi pemerintah hingga bisa diketahui oleh dunia luar.

Refleksi peringatan Hari Buruh kali ini sebaiknya dapat jadikan sebagai momentum kebangkitan transformasi Indonesia ke arah yang lebih baik dengan pandangan yang arif dan lebih menyeluruh.

Tuntutan buruh kelihatannya perlu dipandang dan dikaji dengan kecerdasan, bukan melalui Tawara menawar di bawah meja (undertable). Jangan hanya dari sisi revisi UU Ketenagakerjaan.

Sebab diketahui bersama setiap produk UU yang dibuat dan diberlakukan di negara ini ada saja kelemahan dari sisi penerapan Ketika aturan dimaksud diberlakukan.

Regulasi yang dibuat dari sisi kepentingtan patut mengakomodir (tidak boleh mengkebiri) hak-hak buruh, pengusaha, pemerintah, maupun masyarakat pada umumnya.

Perlu digaris bawahi, setiap pembuatan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan disamping peralihan perundang-undangan lainnya harus mengikuti hierarki yang ada atau dianut oleh negara ini.

Artinya, dalam membuat regulasi khususnya di dunia ketenagakerjaan, sudah seharusnya dilakukan secara komprehensif dan objektif serta memiliki nilai intelektual dan mempertimbangkan kondisi daerah masing-masing.

Produk UU hingga pemraturan di bawahnya jangan saling tabrak satu sama lain. Relevansi aturan harus dikedepankan. Sebab itu bagian dari antisipasi terhadap perubahan yang sering muncul begitu cepat.

Pemerintah perlu menginventarisir serta mengkaji dan merumuskan secara matang ketentuan yang ada, sehingga bisa meningkatkan kesempatan kerja, kesejahteraan buruh dan iklim berusaha yang kondusif di negeri ini.

Dalam memperjuangkan nasib kaum buruh, pengangguran, petani, nelayan dan kaum margin di perkotaan dapat ditempuh melalui berbagai upaya. Misalnya; membangun sistem jaminan sosial nasional yang memiliki liputan yang lebih luas.

Khusus Badan Jaminan Sosial Nasional sebagai lembaga penyelenggara yang bersifat nirlaba sudah seyogiyanya dikelola secara profesional.

Sebab melalui lembaga ini berbagai kegiatan pembangunan sarana dan prasarana transportasi dan komunikasi untuk menciptakan lapangan kerja, sekaligus penyebaran penduduk dan usaha secara rinci. Konsepsi untuk ini perlu dipersiapkan sevcara baik.

Kaitannya dengan itu, penataan dan pembangtunan dunia birokrasi pemerintahan harus lebih baik. Dalam sistem pembiayaan perlu ditransformasi bersama aparatur, agar bisa berperan efektif dan efisien.

Termasuk melakukan inventarisasi aset perusahaan swasta, BUMN/BUMD dan unit usaha lainnya agar dapat bersinergi satu dengan yang lain seperti amanat Pasal 33 UUD 1945.

Pelaksanaan sistem manajemen pemerintahan harus berjalan sesuai koridor (ketentuan) yang sebenarnya. Apalagi semangat kehadiran otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.

Pembagian kewajiban dan kewenangan yang berkeadilan melakukan kajian sistem ketatanegaraan di tingkat daerah harus benar-benar menjiwai semangat Pancasila dan UUD 1945.

Karena buruh bukan babu yang harus diberlakukan secara tidak wajar. Sudah saatnya pemerintah mengangkat harkat dan martabat kaum buruh. (*)