Polemik Upah Minimum Provinsi
Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST (Statistisi Muda BPS Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara )
Tak bisa dipungkiri bahwa upah merupakan hal yang sensitif di kalangan pengusaha, pemerintah, dan buruh. Sulit untuk memuaskan ketiga pihak tersebut dalam penentuan Upah Minimum Provinsi (UMP), yang harusnya sudah dieksekusi 21 November 2021.
Tenggat waktu sudah lewat, pemerintah daerah pun sudah mengumumkan UMP yang akan diterapkan pada tahun 2022. Hasilnya pun sudah bisa ditebak. Buruh selalu dalam posisi tidak puas ketika UMP diumumkan. Kenaikan UMP yang hanya berkisar antara 1%-2% dibandingkan tahun 2021 dirasa sangat kecil dan tidak sesuai dengan harapan mereka yang minimal meningkat 10% dibandingkan tahun 2021.
Upah minimum bukan hanya sekadar nominal belaka. Besarannya sangat berarti bagi ratusan ribu keluarga buruh dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ditambah lagi, meskipun namanya minimum, hampir semua perusahaan membayar buruh mereka tepat di nominal UMP yang berlaku pada tahun berjalan, tidak ada kelebihan sedikitpun.
Hal inilah juga yang menjadi pendorong, buruh melakukan protes ketika kenaikan UMP tidak sesuai yang diharapkan. DKI Jakarta masih menjadi provinsi yang memiliki UMP tertinggi di Indonesia. Tahun 2022, UMP yang diterapkan di DKI Jakarta mencapai Rp 4.452.724,-.
Jumlah tersebut meningkat 1% dibandingkan tahun 2021. Sementara posisi tertinggi kedua dicapai oleh provinsi Papua dengan UMP tahun 2022 mencapai Rp 3.561.932,-.
Buruh tentu tidak puas, mereka berharap masih ada belas kasihan dari pemerintah dan pengusaha dengan menaikkan upah minimum. Buruh berharap, para stakeholder juga mempertimbangkan pendapatan buruh yang selama dua tahun terakhir terpangkas karena Covid-19.
Pihak buruh mempertanyakan, bagaimana bisa diperoleh nominal upah minimum tersebut? Dasar apa yang digunakan untuk menghitungnya? Upah Minimum Provinsi dihitung berdasarkan beberapa indikator.
Diantaranya konsumsi rata-rata perkapita, rata-rata jumlah anggota rumah tangga, rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang bekerja, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi wilayah. Semua indikator tersebut sudah jelas siapa yang menghasilkan angkanya. Ya, Badan Pusat Statistik (BPS).
Akibatnya, beberapa kantor BPS di daerah tidak terlepas dari serangan massa pendemo yang menuntut kenaikan UMP lebih tinggi. BPS memang menghitung indikatornya, namun perlu diketahui bersama, bahwa BPS tidak menetapkan rumus dan menghitung UMP.
Sebenarnya permasalahan buruh tidak hanya sebatas upah minimum yang kecil. Ada hal lain yang memicu protes besaran kenaikan UMP. Yaitu pergerakan mereka dalam memperoleh pekerjaan yang layak di negeri sendiri pun tampak sudah sangat terbatas.
Faktor utamanya adalah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) dari China yang mengambil alih hampir Sebagian besar pekerjaan di sektor tambang di Indonesia. Padahal dari segi kemampuan, buruh pribumi masih dapat bersaing.
Oleh karena itu, secara pribadi, penulis juga menyarankan bahwa indikator untuk menentukan upah minimum harus ditambah. Misalnya dengan menambahkan indikator besaran biaya hidup pada suatu wilayah. Karena tiap wilayah tentu berbeda harga barang dan jasanya.
Wilayah tempat produksi barang atau jasa tentu memiliki harga yang lebih rendah dibandingkan wilayah nonproduksi. Karena tidak memerlukan biaya distribusi (*)