Oleh: DR. Sherlock H. Lekipiouw, SH.,MH (Ketua LB & Klinik Hukum Fakultas Hukum Unpatti)

SEBAGAI warga kota kita patut memberikan apresiasi atas kerja keras Pemerintah Kota (Pemkot) Ambon dalam upaya penanggulangan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) khususnya di Kota Ambon. Secara faktual kota Ambon berada dalam area (zona) yang cukup mengkuatirkan sehingga membutuhkan langkah-langkah dan tindakan yang cepat dan tepat termasuk mengambil kebijakan yang sratgeis untuk upaya pencegahan dan penangunglangan Covid-19.

Namun demikian, pada sisi yang lain sebagai akademisi hukum, khususnya di bidang Hukum Tata Negara/Hukum Adminstrasi Negara, perlu untuk kita menyampaikan beberapa catatan sebagai bagian dari tanggung jawab akademik. Hal ini sekaligus untuk memberikan pemahaman terkait dengan subtansi dari keberadaan Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 16 Tahun 2020, tentang Pembatasan Kegiatan Orang, Atifitas Usaha dan Moda Transportasi dalam Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Kota Ambon.

Dalam catatan ini kami ingin menyampaikan beberapa hal penting yang kiranya dapat menjadi bahan evaluasi kedepan. Pertama, esensi dari substansi Perwali Ambon Nomor 16 Tahun 2020 tentang Pembatasan Kegiatan Orang, Atifitas Usaha dan Moda Transportasi Dalam Penanganan Coronavirus Disease 2019  Covid-19 di Kota Ambon.

Sesungguhnya “bukan merupakan hal baru dan/atau sesuatu yang luar biasa, di tengah situasi pandemi Covid-19 yang terus meningkat dalam laju peningkatan kurva epidemi (serangkaian data epidemilogi yang divisualisasi dalam grafis) yang setiap saat dipublikasikan oleh Gugus Tugas Percepatan Penangunglangan Covid-19 khususnya di Kota Ambon.

Kedua, merujuk pada Diktum Menimbang Huruf (e) dalam Perwali tersebut, maka keberadaan Perwali hanya merupakan tindak lanjut (menyesuaikan) dengan Peraturan Gubernur Maluku Nomor 15 Tahun 2020 Pembatasan Pergerakan Orang dan Moda Transportasi Dalam Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) di Pulau Ambon. Oleh karena itu, perlu disosialisasikan dengan baik dan benar kepada masyarakat agar “tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam penerapannya”

Ketiga, yang dimaksudkan dengan “tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dalam penerapannya” antara lain, menyangkut aspek wilayah keberlakuan dari PerGub 15 Tahun 2020 dan Perwali 16 Tahun 2020. Dimana PerGub 15/2020 mengatur (wilayah) Pulau Ambon sedangkan PerWali mengatur (wilayah) Kota Ambon.

Pertanyaannya apakah ada perbedaan antara Pulau Ambon dan Kota Ambon ataukah keduanya (Pulau Ambon dan Kota Ambon) adalah sama?. Pada bagian ini, penting untuk masyarakat diberikan sosialisasi secara benar oleh Pemerintah Kota sehingga tidak menimbulkan masalah dalam penerapannya di lapangan

Keempat, dalam hal “Pemenuhan Kebutuhan Dasar Penduduk Selama Pembatasan”, dalam PerGub 15/2020 itu diatur dalam Pasal 40 dan dalam ayat (3) penetapannya diatur dalam Keputusan Gubernur, sementara di dalam PerWali 16/2020 diatur dalam “Bagian Kedua tentang Pemenuhan Kebutuhan Kebutuhan Dasar Penduduk Selama Pembatasan”, yang dalam Pasal 50 ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Walikota.

Pada bagian ini subtansi pengaturannya sama, bentuk hukumnya sama yakni melalui penetapan Keputusan Kepala Daerah yang berbeda adalah yang satu diatur dalam Keputusan Gubernur dan satunya di atur dalam Keputusan Walikota.

Di bagian ini kita tentunya perlu melihat sejaumana substansi pengaturan dari kedua bentuk Keputusan tersebut yang sampai sekarang apakah sudah dibuat ataukah belum? Ini penting karena terhadap bantuan itu sendiri masih menyisahkan sejumlah permasalahan. Bagaimana kemudian baik Keputusan Gubernur maupun Keputusan Walikota mengatasinya.

Kelima, terkait dengan “pengenaan sanksi”. Masalah ini penting karena berkaitan dengan pembatasan dan/atau pencabutan atas hak warga masyarakat. Secara akademik (dalam pendekatan hukum konstitusi) pembatasan dan/atau pencabuatan atas hak warga masyarakat dapat dilakukan,  namun harus diatur dalam bentuk Undang Undang dan harus mendapatkan persetujuan parlamen atau DPR/DPRD (Perhatikan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945). Karean itu menjadi aneh kalau kemudian Perwali 16/2020 mengatur sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.

Mengapa aneh ? Seyogyanya pengaturan sanksi diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) bukan dalam Peraturan Walikota. Mengapa? karena secara hierarki PerWali itu dalam pendekatan UU Nomor 11 Tahun 2011 memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang Undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan (liha Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12/2011). Dengan demikian, pengaturan sanksi tersebut mesti ditinjau kembali.

Hal ini juga dipertegas dalam Surat Edara Menteri Dalam Negeri Nomor 440/3160/SJ tentang Optimalisasi Penerapan Protokol Kesehatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tertanggal 15 Mei 2020.

Di SE Mendagri ini dalam Angka (3) disebutkan “Menyiapkan Peraturan Daerah yang di dalamnya memuat penegakan protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19 dengan menerapkan sanksi administrasi berupa teguran dan/atau administrasi dan/atau denda atau bentuk lain agar memberikan efek jera kepada pelanggar serta menjadi dasar dalam menegakan peraturan di masa pandemi covid-19 sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang Undangan”

Dengan demikian, maka keberadanaan pengaturan sanksi dalam Perwali Nomor 16 tahun 2020 perlu dilakukan peninjauan kembali dan diatur secara hukum dalam bentuk Peaturan Daerah. Ini harus dilakukan, sehingga kita mengetahui mengapa dan apa dasar argumentasinya sehingga diterapkan sanksi, baik berupa saknsi adminstrasi/denda dan bahkan sanksi pidana, dan untuk mengetahuinya maka perlu dilakukan kajian naskah akademiknya.

Keenam, sebagai catatan juga, Pemerintah Provinsi Maluku sementara menyusun Ranperda tentang Pedoman Penegakan Protokol Kesehatan di Masa Pandemi Covid-19 di Maluku, sebagai tindak lanjut dari Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 440/3160/SJ, tertanggal 15 Mei 2020.

Pertanyaannya kemudian adalah jika Ranperda ini ditetapkan dan kemudian sesuain surat edaran Pemerintah Kota (termasuk Pemerintah Kabupaten) harus menyusun dan membuat Ranperda tersebut, bagaimanakah kemudian kosekuensi dan akibat hukum yang ditimbulkan dan bagaimana kekuatan mengikat dari pengaturan sanksi dalam Perwali 16/2020 tersebut ?

Bukankah ini kemudian akan menimbulkan permasalahan dalam aspek penerapan dan penegakan hukumnya? Penegasan ini bukan berati bahwa kita tidak mau mengikuti perintah dan pengaturan dari pemerintah daerah, khususnya Pemerintah Kota Ambon, akan tetapi sebagai akadmisi di bidang hukum hal ini penting untuk disampaikan agar tidak kemudian menimbulkan permasalahan hukum di dalamnya (penegakan dan penerapannya)

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa Maluku secara umum termasuk Kota Ambon tidak memberlakukan kebijakan PSBB, tetapi memberlakukan kebijakan social distancing dan physical distancing. Kedua, kebijakan tersebut sama secara substansi (substantial mechanism) tetapi berbeda dalam pengaturannya secara operasional dan prosedural (Procedural Mechanism).

Pada bagian lain, kita mengharapkan adanya koornidasi lintas sektoral termasuk koordinasi antar satuan pemerintahan dalam hal ini Pemerintah Provinsi (melalui Gustu Covid-19) agar semua kebijakan pemerntah daerah yang bertujuan untuk pencegahan dan penanggulangan Covid-19 dapat berjalan secara terpadu, sistimatis dan terkoordinasi dan menjunjung tinggi hak asasi warga negara

“Dalam prespektif konstitusional, Negara (Pemerintah) wajib melindungi dan menjamin hak asasi warga negara (masyarakat) sekalipun berada dalam Keadaan Darurat atau StaateNoodrecht.  Ataukah dalam keberadaan hukum (yang bersifat darurat) atau NoodStaatrecht, yang dalam hal perumusan kebijakan dan pembentukan regulasi (aturan) penting untuk mendasakan diri pada Prinsip Proporsionalitas “principle of proporsionality” yang dikenal dalam hukum internasional. Prinsip ini dianggap sebagai ‘The crus of the self defence doctrine atau inti dari doktrin Self Defence” (***)