Catatan : M Djen Latuconsina

Pada suatu kesempatan dalam pertemuan dengan mahasiswa Ambon di Kota Makassar, almarhum Prof. Dr. M. Saleh Putuhena berkelakar bahwa, “Kami ini adalah orang Makassar yang lahir di Maluku.”

Meskipun itu hanya gurauan dari mantan Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauiddin, Makassar, tapi sebenarnya menggambarkan keberadaan orang-orang Maluku di Kota Anging Mamiri yang telah puluhan tahun menetap disana, dan menjadi warga Kota Makassar.

Mereka pun diberi status tinggi dalam bidang kebudayaan, dengan menjadi budayawan di Kota Daeng itu. Diantaranya adalah Farid Hamid, Prof. Dr. M. Saleh Putuhena, Prof. Dr. dr. A. Razak Thaha, M.Sc, dan Ishak Ngeljaratan.

Menjadi satu kebanggan. Mereka hadir dengan identitas kebudayaan yang berbeda, namun diberi penghargaan sebagai budayawan di kota yang berada di selatan Celebes Island itu.

Tidak saja sebagai budayawan, tapi masih banyak lagi peran orang Maluku di Kota Makassar dalam berbagai bidang. Salah satu figur orang Maluku yang mewarnai fanatisme warga Kota Makassar dalam bidang sepak bola adalah Daeng Herry.

Ia layaknya ketiga figur di atas  yang sudah menetap puluhan tahun di Kota Makassar dan menjadi warga Kota Makassar.  Sosok pria berbadan kekar, yang sering memakai topi baret berwarna merah ala Che Guevara, pejuang berhaluan kiri dari Kuba tersebut, adalah Ketua Ikatan Suporter Makassar (ISM), Persatuan Sepak Bola Makassar (PSM).

Ia identik dengan PSM, lantaran belasan tahun berkecimpung dalam PSM, PSM dimana kemana saja tim berjuluk Juku Eja ini bertanding, maka disitu pula ia berada dengan tugas utamanya yakni memobilisir para sporter saat PSM bertanding.

Daeng Herry berasal dari Negeri Latu (Leparissa Latu Amalatu), Pulau Seram. Nama lengkapnya adalah Herry Patty. Saya menyapanya Daeng Herry lantaran ia identik dengan orang Makassar, dimana berkarakter orang Makassar baik itu dari sisi gaya dan bahasanya.

Meskipun demikian sesekali masih terdengar dialeg Negeri Latu yang kental keluar dari mulutnya. Rupanya ia tidak lupa akar budayanya di Pulau Seram Sana.

Saya tidak terlalu jauh mengenalnya secara mendalam, hanya saja saat kuliah di Kota Makassar dulu terdengar jika dulunya ia adalah atlit tinju.

Kemungkinan itu di era 1980-an saat zaman keemansan Elyas Pical, dimana ketika itu para pemuda di Maluku sangat mengandurngi olah raga adu jotos ini. Daeng Herry adalah figur yang popular. Ia dikenal pada semua level warga Kota Makassar.

Saya masih ingat pada suatu kesempatan ketika masih di Kota Makassar, ia bersua dengan kami  para mahasiswa Ambon di Wesabbe, Jalan Perintis Kemerdekaan, Tamalanrea.

Daeng Herry  datang dengan motor bebeknya, nampak ia mengenakan uniform khasnya topi baret merahnya, rompi yang tersarung ditubuhnya dan kacamata hitam model Rayban. Nampak gayanya yang gammara (bagus).

Sebagai orang yang baru mengenalnya kita sesama teman-teman mahasiswa asal Ambon, hanya berbisik-bisik dalam dialeg Malayu Ambon, “Itu Herry Patty ketua sporter PSM. Antua orang mana, Alang ka, Itawaka?” lantas ada yang menyambung “Seng (tidak) antua (beliau) orang Latu sana”.

Usai pertemuan, ia keluar dari gapura Wesabbe, para abang becak yang sedang parkir disitu begitu menaruh hormat padanya. Kata teman saya yang berada disamping kanan saya, “Orang kanal antua dimana-mana, abang beca jua maar hormati antua.”

Kata sahabat saya yang juga berada disamping kiri saya turut menambahkan, “Mau lawan bos sporter PSM sorong la mati.” Bukan memuji-muji secara berlebihan sosok Daeng Herry, tapi kenyataannya memang demikian, keberadaannya di Kota Daeng itu dihormati oleh warga masyarakatnya.

Daeng Herry adalah pribadi bersahaja, merakyat dan baik hati. Sebulan yang lalu saya baru berteman dengannya di facebook, tidak lama kemudian ia mengirimkan nomor WathsApp-nya ke saya, saya pun demikian.

Tidak ada jarak dengan orang yang baru bersahabat dengannya. Ia selalu membuka ruang komunikasi kapan pun hendak dilakukan dengannya. Tetap bersahaja dan merakyat Daeng Herry.

Barangkali kata-kata yang pas untuk menggambarkan sosok Daeng Herry, dapat ditemukan dalam ungkapan Abdullah Gymnastiar pendiri Pondok Pesantren Daarut Tauhiid di Bandung bahwa,  “Budayakan hidup bersahaja dan tinggalkan budaya mewah. Kalaupun harus memiliki barang, pilihlah barang yang mempunyai nilai tambah bukan biaya tambah.” (*)