Evie Poetiray, Perempuan Maluku yang Melawan Nazi di Belanda

Dalam deklarasi itu, PI juga menegaskan pandangannya agar Indonesia dan Belanda punya relasi baru berlandaskan kerja sama dan kesetaraan. PI menuntut “Indonesia yang merdeka dan demokratis, karena hanya dalam hal itu terpampang sebuah jaminan bahwa rakyat Indonesia akan memiliki pembangunan politik, ekonomi, dan sosial di tangan mereka”.
Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Tapi, Belanda tidak mengakuinya dan malah melancarkan agresi militer. PI bersama Partai Komunis Belanda (CPN) menentang kebijakan Belanda itu.
Pada Februari 1946, CPN menyelenggarakan demonstrasi di Amsterdam. Tokoh Sosial Demokrat Alderman Hufo de Dreu meminta Evie untuk berorasi mewakili PI. Evie menegaskan kata-kata yang tak diantisipasi de Dreu sebelumnya. “Rakyat Belanda, apakah kalian siap mengakui hak menentukan nasib sendiri rakyat Indonesia?” ujar Evie yang setelah itu dikenal sebagai orator lantang sejak itu.
Pada Desember 1946, Evie pulang ke Indonesia. Setahun berikutnya dia menikahi Marangi Siantoeri, koleganya di PI. Perempuan yang dijuluki Sukarno sebagai Henriëtte Roland Holst (penyair dan tokoh komunis) dari Indonesia itu meninggal pada 27 Agustus 2016 di Jakarta (***)
Penulis: Husein Abdulsalam (tirto.id)