BERITABETA.COM, Jakarta – Pengacara kondang Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc melibatkan berapa pakar hukum dalam mengajukan  judicial review terkait Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat ke Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia.

Salah satunya adalah Pakar Hukum Tata Negara DR. Fahri Bachmid,S.H.,M.H yang juga putra Maluku. Selain Fahri  untuk memperkuat permohonan tersebut, Yusril Ihza Mahendra juga menghadirkan ahli lain antara DR. Hamid Awaludin,S.H.,M.H, dan  Prof. DR. Abdul Gani Abdullah,S.H.,M.H.

“Saya diminta serta diajukan sebagai Ahli dalam perkara judicial review ini oleh Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc dan Kantor hukum Ihza & Ihza Law Firm SCBD-Bali Office sesuai kapasitas akademik dan keilmuan saya,” ujar Akademisi dan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, DR. Fahri Bachmid,S.H.,M.H., kepada beritabeta.com, Selasa malam (28/9/2021).

Fachri mengakui, secara lengkap keterangan yang disampaikan telah disampaikan dan menjadi bagian dari berkas permohonan untuk kepentingan pemeriksaan perkara judicial review di MA.

Salah satu poin dari pengajuan judicial review yang diajukan itu adalah membela empat kader Partai Demokrat yang dipecat Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Menurut Fahri, gugatan AD/ART Demokrat era Agus Harimurti Yudhoyono tersebut merupakan suatu isu sekaligus permasalahan negara yang harus dipecahkan secara serius dan tuntas melalui suatu terobosan hukum dan keputusan yang lebih prospektif serta futuristik untuk perbaikan “kesisteman” partai politik di Indonesia kedepan.

“Ketika Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc mengajukan permohonan ini ke MA, kita secara sadar harus mahfum bahwa masalah AD/ART Partai Politik secara hukum peraturan perundang-undangan kita luput menjangkau serta mengatur soal masalah ini,” katanya.

Secara hipotetis, kata Fahri,  bagimana AD/ART Parpol bertentangan dengan misi dan tujuan Parpol  seperti yang diatur dalam perundang-undangan  partai politik? karena UU Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik hanya mengharuskan bahwa AD/ART sebuah Parpol memuat visi dan misi, azas dan ciri, nama, lambang, tanda gambar, kepengurusan dan mekanisme pemberhentian anggota.

“Tidak ada satupun perintah yang bersifat imperatif dan kewajiban bagi Parpol agar AD/ART mereka sejalan dengan tujuan Parpol yang dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diatasnya,” tandasnya.

Sedangkan disisi lain AD/ART adalah peraturan dasar “hukum “ yang mengatur secara internal parpol.

Untuk itu kata Fahri, anggota Parpol bisa diberhentikan karena melanggar AD/ART partai politik. Dengan demikian, jika corak dan karaker kepemimpinan Parpol yang despotisme, oligarkis, elitisme, serta feodel maka tentu secara hukum sudah tidak sejalan dengan tujuan asasi parpol untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat sesuai perintah peraturan perundang-undangan.

“Bahwa memang jika dilihat secara lebih seksama dan mendalam, terkait ketiadaan aturan hukum “legal vacuum” yang dapat menjangkau fenomena hukum tersebut di internal Parpol, jika suatu AD/ART melanggar konstitusi atau UU diatasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu langkah terobosan “breakthrough” secara hukum sema-mata untuk tercipta tertib norma hukum secara berjenjang,” tukas Fahri Bachmid.

Fahri mengatakan, proses pengajuan judicial review AD/ART Demokrat ke MA tersebut secara yuridis akan berimplikasi menjadi terobosan hukum “rule breaking” penting dan signifikan dalam tata hukum nasional  oleh MA RI.

Selain itu, secara teoritik hal tersebut sangat dibolehkan kalau bukan dikatakan dianjurkan.

Artinya, lanjut  Fahri, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri “rechtsonzekerheid” atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum “rechtsverwarring” itulah urgensi dan pentingnya dari “lagal action” ini sesungguhnya.

“Berangkat dari keadaan serta kebutuhan itu, maka idealnya pengaturan terhadap produk AD/ART Partai Politik telah harus diciptakan pranata pengujiannya oleh kekuasaan yudisial sesuai orientasi cita-cita negara hukum,” paparnya.

Partai Politik berkedudukan sebagai badan hukum publik sesuai putusan MK.  Pasal 3 ayat (1) UU 2/2011 menyebutkan “Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum”.

Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 34 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Pendirian Badan Hukum, Perubahan AD/ART, serta Perubahan Kepengurusan Partai Politik (Permenkumham 34/2017) menyebutkan bahwa “pendaftaran partai politik” adalah pendaftaran pendirian dan pembentukan partai politik untuk mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum partai politik.

Selanjutnya Pasal 1 angka 2 Permenkumham 34/2017 kemudian menyebutkan “Badan Hukum Partai Politik adalah subjek hukum berupa organisasi partai politik yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, eksistensi Parpol sebagai Badan Hukum Publik juga telah ditegaskan dalam putusan MK Nomor 60/PUU- XV/2017 dan Putusan Nomor 48/PUU- XVI/2018.

Dimana MK lanjutnya,  telah menerima permohonan sebagai pihak Pemohon dan membenarkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sebagai “badan hukum publik” sesuai ketentuan Pasal 3 Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang Undang,

“Dengan demikian judicial review atas legalitas suatu AD/ART partai sesungguhnya merupakan kontrol hukum terhadap proses politik, yaitu penyusunan AD/ART yang dilakukan oleh internal partai politik,” katanya.

Ia menambahkan, urgensi judicial review, sebagai alat kontrol yudisial terhadap konsistensi norma atas produk hukum partai politik dalam bentuk AD/ART dengan UU sebagai peraturan yang lebih tinggi dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum.

Hal ini, termasuk dan tidak terkecuali AD/ART partai politik sehingga diperlukan adanya institusi serta instrumen kekuasaan kehakiman “judicative power” yang diselenggarakan oleh badan-badan peradilan negara.

Tugas pokok badan peradilan adalah memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan oleh masyarakat pencari keadilan. Pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah hakim.

Ditambahkan, persoalan dan konteks ini harus diletakan pada suatu pemahaman bahwa ini merupakan sebuah  ijtihad konstitusional atau suatu langkah secara legal konstitusional yang ditempuh untuk mengatasi kekosongan hukum (*)

Pewarta : dhino pattisahusiwa