Oleh: Adi Prayitno (Dosen Ilmu Politik Fisip UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik)

LANGKAH politik Partai Demokrat disorot publik. Sikapnya yang mendua dituding sebagai politik cari aman. Satu sisi sudah definitif mendukung Prabowo, di sisi lain membiarkan kadernya mendukung Jokowi.

Katanya atas nama demokrasi internal partai. Secanggih apa pun argumentasinya, Demokrat sulit menghindari tuduhan bermain di dua jangkar kekuatan. Demokrat berdalih, ini didasarkan pada terbelahnya suara kader sejak awal kandidasi pencapresan.

Wakil Ketua Demokrat Syarif Hasan di sejumlah kanal media mengatakan, hasil survei internal mereka menunjukkan kecenderungan mayoritas kader Demokrat mendukung Prabowo, sebagian kecil lainnya mendukung Jokowi.

Meski kecil, kader Demokrat yang migrasi ke Jokowi adalah pemain bintang. Misalnya, Gubernur Papua Lukas Enembe, Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB), dan mantan wakil gubernur Jabar Deddy Mizwar.

Termasuk sejumlah DPD Demokrat yang deklarasi mendukung Jokowi tak bisa disepelekan. Sementara, Wahidin Halim dan Soerkarwo yang diklaim mendukung Jokowi masih simpang siur. Belum ada info valid yang pasti.

Arus deras migrasi politisi Demokrat ke Jokowi menjadi tanda tanya besar soal keseriusan dukungan ke Prabowo. Apalagi Demokrat tak pernah memberikan sanksi apa pun pada mereka yang jelas berbeda haluan.

Wajar jika Demokrat dituding tak maksimal. Berbeda dengan Golkar dan PPP yang memecat kader pembelot pada Pilpres 2014. Sebelum dituding main dua kaki, Demokrat sedari awal diragukan keseriusannya mendukung Prabowo.

Ketidakhadiran Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada dua momen penting, saat deklarasi dan pendaftaran ke KPU, menebalkan keyakinan publik Demokrat setengah hati berlabuh ke Prabowo.

Sebab, SBY kerap muncul pada momen penting demi meneguhkan sikap politiknya.

Kehilangan momentum

Politik dua kaki Demokrat cukup bisa dipahami karena partai ini kehilangan momentum di Pemilu 2019. Indikasinya ada tiga. Pertama, Demokrat gagal memperjuangkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres.

Padahal, upaya yang telah dilakukan cukup maksimal demi memberikan karpet merah pada sang putra mahkota. Namun, arah mata angin politik tak terlampau menguntungkan kubu Cikeas.

Demokrat yang menokohkan AHY sejak Pilkada DKI Jakarta belum mampu menembus semak belukar rimba politik Tanah Air. AHY kalah bersaing dengan figur lain yang sejak lama berinvestasi politik. Bukan secara tiba-tiba muncul di permukaan.

Elektabilitas AHY menjulang di level cawapres, tapi chemistry dengan partai lain belum terkonsolidasi baik. Sepinya partai yang meminati AHY sebagai cawapres mungkin bagian dari ‘kutukan’ politik nonblok Demokrat selama ini.

Pilihan tak merapat ke mana pun, membuat Demokrat kesepian. Sulit menemukan kawan sehati yang militan membangun koalisi.

Indikasi kedua, Demokrat tak lagi diperhitungkan sebagai partai papan atas yang bisa menentukan kemenangan pertarungan dua kubu. Demokrat malah terlihat kesulitan merajut koalisi poros alternatif di luar Jokowi dan Prabowo.

Magnet sebagai partai besar mulai tak terasa. Demokrat harus mawas diri, peta kekuatan politik partai berubah. PDIP, Golkar, dan Gerindra menjadi partai yang secara determinan menjadi magnet elektoral bagi partai lain menentukan arah koalisi.

Ketiga, figur SBY kian pudar tergantikan figur lain yang memiliki penetrasi politik mendalam ke akar rumput, seperti Jokowi dan Prabowo.

Setelah kehilangan momentum, Demokrat terlihat tak serius memikirkan capres yang akan menang karena tak menguntungkan secara elektoral. Sepertinya, Demokrat fokus memenangkan pileg demi menaikkan posisi tawar pascapilpres.

Karena bukan hal mustahil jika perolehan pileg Demokrat signifikan justru membuat daya tawar mereka menguat untuk menjaga stabilitas parlemen. Jadi, langkah ini merupakan strategi memutar arah demi menaikkan posisi tawar Demokrat nantinya.

Kebijakan Demokrat membebaskan kadernya dalam menentukan pilihan politik sangat menguntungkan Jokowi. Tanpa dinyana, gelombang dukungan datang tanpa diundang. Dukungan ini jelas berkah elektoral di tengah dinamika pilpres yang kian panas.

Jokowi meraup bola muntah kader Demokrat dari berbagai lapisan. Bisa dibayangkan jika figur-figur sekaliber gubernur dan mantan gubernur dari Demokrat berjibaku maksimal mendukung Jokowi.

Pilpres kian terasa jomplang karena rivalitasnya tak berimbang. Apalagi, mayoritas kepala daerah saat ini orangnya Jokowi. Baik kepala daerah yang menang dari partai koalisi pemerintah maupun kepala daerah dari oposisi.

Peta politik semacam ini memosisikan kubu Jokowi di atas angin karena hampir semua lini pertarungan dikuasai. Mulai dari mayoritas dukungan partai, penguasaan infrastruktur politik, elektabilitas, hingga tim sukses dari berbagai kalangan.

Meski begitu, politik kadang bukan semata narasi yang tampak di permukaan, melainkan keseluruhan proses yang menyertai. Politik kerap menyajikan kejutan tak terduga. Jokowi memang masih tangguh dalam berbagai survei.

Namun, jika tak dikelola dengan baik, masih terbuka ruang lebar elektabilitas Jokowi tergerus. Sebab, politik tak sebatas angka matematis serupa survei atau data kalkulatif klaim penurunan kemiskinan. Ada hal tak terduga di luar jangkauan prediksi.

Karena itu, penting bagi Jokowi selalu merawat keunggulan elektoral hingga masa pencoblosan. Tak boleh mendahului kehendak Tuhan, seakan pemilu sudah selesai dengan limpahan dukungan politik.

Sebab, secara alamiah aroma politik 2019 cukup dinamis. Sedikit saja membuat kesalahan, Jokowi bisa tumbang seperti yang terjadi pada Ahok di Pilkada DKI Jakarta.

Kampanye pilpres tinggal menghitung hari. Mesin politik yang mendidih sejak lama sudah siap tempur di berbagai kanal persaingan. Itu artinya, dalam beberapa bulan ke depan dinamika pilpres bisa berubah drastis.

Jika tak ada badai mungkin posisi Jokowi tetap aman atau justru kubu penantang yang malah meraup dukungan karena isu yang menusuk jantung pejawat, seperti kemiskinan emak-emak dan pemilih millenial yang diborong Sandiaga Uno.

Mari tunggu bersama siapa yang akan menang pilpres, Jokowi atau Prabowo (***)