Kisruh Gerakan Ganti Presiden
Minggu lalu rencananya dilaksanakan deklarasi gerakan ganti presiden di beberapa kota di Indonesia. Kabar itu segera memperoleh respons pro dan kontra dari masyarakat. Sebagian masyarakat menolak gerakan itu dan membentuk gerakan tandingan. Penolakan di Surabaya dan Pekanbaru menunjukkan bahwa masyarakat yang menolak gerakan ganti presiden juga makin eksis membentuk jaringan. Akibatnya, kemungkinan terjadinya benturan dalam masyarakat menjadi terbuka. Polisi merespons kemungkinan terjadinya bentrokan sosial ini dengan tidak memberikan izin bagi penyelenggaraan deklarasi.
Kejelasan Aturan
Ada dua tafsir terhadap deklarasi gerakan ganti presiden ini. Pertama, inisiator dan pendukungnya mengatakan bahwa gerakan ini sah sebagai wujud ekspresi kebebasan berpendapat. Pendapat ini, misalnya, disuarakan oleh Fadli Zon, Ahmad Dhani, dan Sandiaga Uno. Kebebasan berpendapat dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945, maka siapa pun tak berhak menghalangi hal itu.
Kedua, pandangan dari para penolak mengatakan bahwa gerakan ganti presiden sudah melanggar aturan. Alasannya adalah saat ini sudah ada dua bakal calon presiden. Meskipun belum definitif, tetapi jelas sekarang sudah ada dua pasangan calon. Menolak presiden yang lama berarti mengampanyekan pasangan calon presiden-wakil presiden yang lain.
Kubu yang menolak gerakan ganti presiden menuding bahwa gerakan itu sama dengan kampanye. Mengingat masa kampanye belum resmi diberlakukan, maka itu sama saja dengan melanggar aturan kampanye.
Permintaan penolak deklarasi ini sebenarnya sederhana saja, yaitu patuhi aturan main kampanye, dan jika ingin mengganti presiden, sebutkan siapa dan silakan promosikan. Mengingat saat ini hanya ada dua bakal calon maka penolak Joko Widodo bisa dipastikan sedang mengampanyekan pasangan calon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Tudingan tersebut ditolak oleh pengusung gerakan ganti presiden. Menurut mereka, gerakan ini tidak ada hubungannya dengan Jokowi atau Prabowo. Namun demikian, jika dilakukan profiling, dapat dikatakan bahwa pendukung gerakan ganti presiden hampir dipastikan dari pendukung Prabowo-Sandiaga. Kenyataan ini merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Dalam penelitian sosial, profiling ini akan membawa pada hipotesis yang kuat bahwa pendukung deklarasi ganti presiden adalah pendukung atau minimal berkorelasi erat dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Bagaimanapun itu, perbedaan tafsir memang membuka ruang bagi debat publik mengenai aturan kampanye. Apakah sudah adanya bakal calon merupakan batasan bahwa tahapan pemilu sudah dimulai dan berimplikasi pada pemberlakuan aturan kampanye? Atau belum ditetapkannya calon definitif merupakan ruang yang membuka peluang bagi promosi calon-calon lain termasuk gerakan-gerakan seperti gerakan ganti presiden?
Dilihat dari aspek hukum dan politik, ini menarik. Dalam hal kepastian hukum memang terdapat fakta bahwa saat ini belum ada pasangan capres-cawapres definitif yang ditetapkan oleh KPU. Artinya, kemungkinan munculnya pasangan calon lain masih ada. Jika, misalnya, oleh KPU salah satu atau kedua pasangan yang sudah jadi bakal calon pasangan tidak diluluskan karena tidak terpenuhi syarat dan ketentuan, maka kepesertaan mereka bisa dibatalkan. Jika ini terjadi maka akan merombak peserta pemilu dan pendukungnya. Dengan demikian, terlihat bahwa alasan gerakan ganti presiden bisa diterima.
Namun, aspek hukum dan hukum itu sendiri tidak berada dalam ruang kosong. Tafsir kepastian hukum yang berpegang pada ketentuan-ketentuan formal kadang-kadang bisa diakali oleh modus-modus yang sengaja mencari celah untuk mengambil keuntungan dari keterbatasan hukum formal.
Alasan penolak gerakan ganti presiden bisa diterima dengan alasan ini. Meskipun kepesertaan Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga belum ditetapkan, tetapi profiling terhadap pendukung gerakan dapat dengan mudah menemukan paling tidak korelasi antara deklarator dan simpatisan dengan pendukung Prabowo-Sandiaga. Meskipun deklarator gerakan ganti presiden menolak dikaitkan dengan Prabowo, tetapi dalam aspek ini mereka tidak bisa menolak keterkaitan itu.
Sepertinya celah ini harus menjadi bahan evaluasi bagi KPU atau bahkan dalam penyusunan undang-undang mengenai pemilu nantinya. Jangan sampai celah ini dimanfaatkan oleh tim-tim sukses bakal calon untuk diam-diam mengambil keuntungan. Kita perlu aturan yang cukup terperinci dalam hal ini karena potensi konflik di masyarakat cukup besar. Apa yang terjadi di Surabaya dan Pekanbaru dengan gampang digoreng sedemikian rupa sehingga memperuncing debat di ruang publik.
Etika
Selain aspek kejelasan aturan dalam pilpres, patut juga diperhatikan etika dalam melakukan komunikasi massa. Salah satu kritik utama terhadap gerakan ganti presiden adalah sifatnya yang sering kali sangat provokatif. Hal ini terlihat dari pidato-pidato orator dalam berbagai kesempatan yang bisa disimak dengan berbagai media. Memang betul bahwa warga negara dilindungi kebebasannya dalam berekspresi dan berpendapat. Oleh karena itu, idealnya, gerakan ganti presiden sesungguhnya adalah bagian dari penggunaan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi itu.
Namun demikian, patut pula diperhatikan etika-etikanya. Penggunaan hak itu harus memperhatikan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat di mana hak itu berlaku. Artinya, hak ini tidak bisa digunakan secara mutlak tanpa memperhatikan aturan dan kepantasan yang ada. Kebebasan berpendapat satu orang dibatasi oleh kebebasan berpendapat orang lain. Dalam hal tertentu, kebebasan berpendapat juga tidak boleh menyerang hak asasi manusia lain.
Setidaknya ada beberapa kritik mendasar mengenai gerakan ganti presiden ini. Pertama, tidak adanya calon definitif, siapa yang ingin mereka ajukan untuk menggantikan presiden yang sudah ada. Kedua, dan oleh karenanya, mereka hanya fokus pada kekurangan dari presiden definitif yang sudah ada.
Sebelum adanya bakal calon presiden seperti saat ini, tidak jelas siapa yang menjadi jagoan dari gerakan ganti presiden. Sekarang, meskipun sering mereka sangkal, profiling menunjukkan bahwa pendukung ganti presiden kurang lebih sama dengan pendukung Prabowo. Namun pola dari kampanye yang dilakukan masih tetap sama, yaitu fokus untuk menyerang kekurangan Presiden Jokowi.
Fokus pada penyerangan ini membuat kampanye yang mereka lakukan sering terlihat asal kritik dan sering pula terlihat memprovokasi. Contoh yang asal kritik, antara lain tentang penanganan gempa Lombok yang dikatakan tidak baik, tidak mengucurkan dana yang cukup dan sebagainya. Padahal dari segi penanganan, dunia internasional banyak yang memuji kecepatan dan proses tanggap bencana yang sangat baik. Sedangkan dalam hal penganggaran, dana yang dikucurkan juga sudah triliunan rupiah dan mencukupi bagi program recovery dan rehabilitasi.
Untuk kampanye yang provokatif, misalnya, dengan menggunakan kata seperti “Perang Badar” dan sebagainya. Pilihan kata seperti itu mencerminkan suasana yang ingin dibangun oleh orator yaitu suasana benturan. Alangkah lebih baiknya jika pilihan kata-katanya lebih halus. Atau, jika pun ingin terus menyoroti kekurangan pemerintah, seharusnya fokus pada kebijakan-kebijakan pemerintah, bukan pada personal, latar belakang identitas, dan sebagainya. Promosi isu-isu, seperti PKI, isu etnis, antek asing, kafir, dan sebagainya, idealnya tidak tepat dan cenderung mendorong pada konflik horizontal.
Pada akhirnya, walaupun gerakan ganti presiden merupakan sebuah wujud dari kebebasan berpendapat masyarakat, pelaksanaannya harus memperhatikan nilai dan norma yang berlaku. Selain itu, celah hukum atau aturan yang muncul dari peristiwa minggu yang lalu harus dijadikan catatan khusus bagi KPU maupun pembuat aturan yang lebih tinggi, supaya tidak menimbulkan perdebatan, polemik, dan potensi kekisruhan yang bisa mengganggu kestabilan dalam masyarakat, khususnya di tahun politik ini.
Oleh : Jerry Sambuaga
(doktor ilmu politik, dosen Universitas Pelita Harapan)