Catatan : Mary Toekan Vermeer (Pengagum Sejarah Islam, Menetap di Belanda)

GEMERLAP negeri Seribu Satu Malam Kekhalifahan Abbasiyah…di bawah komando sang Khalifah Harun Al Rasyid (786 – 809 M). Semakin bercahaya dikawal oleh para ilmuwan ilmuwan Islam di negeri ini. Terletak di dataran yg subur di Irak. Sejak tahun 762 Masehi,  Baghdad menjadi pusat Dinasti Abbasiyah hingga lima abad ke depannya.

Denah kota ini berbentuk lingkaran… dengan tembok tembok setebal 50 hasta dan tinggi 90 kaki. Kokoh membentengi kota dengan empat gerbang utama sebagai pintu masuk. Masyarakatnya hidup berkecukupan. Maka tak heran Baghdad menjadi kota modern (pusat peradaban dunia di zamannya).

Di masa Khalifah Harun Al Rasyid, Baghdad pertama kali mempunyai Qodhi al Qudhaat atau hakimnya para hakim. The great scholar of the hanafi fiqh (Al Imam Abu Yusuf rahimahullah 738 – 798 M ).

Al Kharaj adalah salah satu dari begitu banyaknya kitab goresan tinta Abu Yusuf. Kitab ini untuk memenuhi permintaan sang Khalifah Harun Al Rasyid dlm menentukan pengumpulan pajak yg sah secara Islam…agar masyarakat terhindar dari penindasan.

Kehebatan Abu Yusuf hampir di semua ilmu. Ilmu tafsir, strategi perang, penanggalan Arab dan juga periwayatan hadits.

Karya karyanya banyak ditemui dalam bentuk kitab kitab dalam berbagai ilmu…termasuk hukum Islam dan hukum internasional.

Dibawah bimbingan sang guru Imam Abu Hanifah rahimahullah, Abu Yusuf meraih puncak kesuksesan. Karena kedekatannya denag penguasa. Meski berbeda pandangan dengan sang guru, Abu Yusuf melebarkan sayap pandangan sang guru Abu Hanifah dengan kitab Mazhab Hanafi di wilayah kekuasaan Abbasiyah.

Mazhab sang gurupun terus bergulir hingga era modern kekhalifahan Turki Utsmani, menjadi mazhab resmi negeri Al Fatih.

****

Kufah, Irak. Disitulah Imam Abu Hanifah hidup ( 699 – 767 M ) menggelar majelis disamping toko kain beliau. Warisan ayahnya mengantarkan Imam Abu Hanifah rahimahullah menjadi saudagar kaya sekaligus ulama terkenal. Jika saatnya majelis dibuka,  toko kain beliau tutup. Mengenakan jubah guru, beliau duduk dengan sabar membangun jiwa dan menumbuhkan akal murid muridnya.

Suatu hari beliau terpukau dengan  kepintaran ajaib salah seorang muridnya yang sering duduk di pojok ruang majelis. Mata hati beliau layaknya paranormal. Keras berbisik dihatinya, inilah ulama masa depan itu.

Abu Yusuf bukanlah dari keturunan orang berada. Kehadirannya di majelis Abu Hanifah secara sembunyi sembunyi dari ibundanya. Hal ini membuat Abu Hanifah sering kehilangan muridnya yg satu ini.

Sepeninggal ayahnya, sang bunda menginginkan dia bekerja untuk membantu penuhi urusan dapur mereka daripada duduk di majelis Abu Hanifah.

“Bukan kelasmu nak duduk di majelis itu. Abu Hanifah itu makanannya roti bakar…!!, ” (ini istilah uuntuk oarang kaya zaman itu). Lirih suara bundanya.

Untuk merebut hati ibunda Abu Yusuf, Abu Hanifah memenuhi kebutuhan dapur mereka.

Sejak itu, Abu Yusuf menjadi murid terdekat Abu Hanifah. Siap melahap ribuan ilmu yang dituturkan sang guru.

Hari itu, selepas kajian majelis Abu Hanifah mendekati murid kesayangannya ini lalu mengeluarkan kalimat, “Suatu hari nak, engkau akan makan faludzaj di atas piring fairuzaj, “.

Faludzaj adalah makanan mewah yang  hanya disediakan di dalam Istana Khalifah.  Sedangkan piring khusus bertabur permata yang sangat indah di meja makan khalifah itulah fairuzaj.

***

Dalam perjalanan waktu di ruang makan Istana Khalifah, sang Hakim Agung Abu Yusuf sedang berdiskusi ringan dgn Khalifah Harun Al Rasyid.  Tiba tiba di ujung meja makan Khalifah datang pelayan menyuguhkan makanan dan tadaaa !! Makanan itu adalah faludzaj di atas piring fairuzaj. Persembahan untuk sang hakim agung.

Abu Yusuf lalu tersenyum senyum melihat apa yang tersedia di depannya. Senyuman ini mengundang khalifah bertanya, “Apa yang membuatmu tersenyum Abu Yusuf ? ”

Aku teringat kalimat guruku Abu Hanifah. Semoga Allah merahmati Abu Hanifah rahima ta’ala. Beliau melihatku dengan mata hatinya sebelum melihat dengan mata kepalanya.

Sang ulama itu telah pergi menemui Tuhannya, namun goresan bahasa sang ulama  bagai nasehat mujarab membawa Abu Yusuf menuju kursi kebesaran Qodhi al Qudhaat.

Dgn ilmunya, ia diamanahi menjadi hakimnya para hakim negara. Memutuskan perkara dengan seadil adilnya, bahkan Khalifah Harun Al Rasyid memberi kehormatan padanya. Bahwa semua keputusan mahkamah baik di Barat maupun Timur harus bersandar kepada sang Hakim Agung.

Begitulah sepotong kisah keikhlasan seorang guru yang mengarungi lautan ilmu bersama murid  muridnya. Abu Hanifah rahimahullah. Hartanya yang  melimpah beliau sedekahkan membiayai murid muridnya.

Pahala ini Allah bayar dengan lembaran tinta -tinta muridnya. Menerbangkan pandangan -pandangan sang guru Imam Abu Hanifah memenuhi langit negeri negeri Islam di seantero bumi bahkan menjadi salah satu mazhab yang diakui mayoritas umat Islam. Semoga kisah ini menjadi inspirasi para guru.

Tokoh tokoh seperti Pak Natsir, Panglima Soedirman, Buya Hamka adalah guru guru yang ikhlas. Pesan pesan mereka sungguh menyentuh jiwa pesan kehidupan yang sangat dalam maknanya.

Dalam Islam,  guru adalah seorang mujahid. Merekalah mujahid intelektual, bukan sekedar  tukang ngajar. Sebab di bahu merekalah ada tanggung jawab besar, pembentuk akhlak generasi, para pencinta ilmu dan pembawa cahaya peradaban.

Seperti kata Natsir, “Kemajuan satu bangsa ditentukan oleh sekelompok pendidik yg ikhlas berbuat utk bangsanya, ”

Selamat hari guru. Kadoku untukmu sahabat. (diambil dari kajian para guruku…Ustadz Budi Ashari , Lc dan Ustadz Dr. Adian Husaini) (***)