BERITABETA.COM, Jakarta — Upaya Indonesia menurunkan laju deforestasi (penggundulan hutan) untuk mencapai target pengurangan emisi 2030 dinilai gagal arah dan kontradiktif.

Dalam dokumen FoLU Net Sink 2030, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menetapkan bahwa 60% pengurangan emisi berasal dari sektor hutan dan lahan. Namun, temuan Forest Watch Indonesia (FWI) justru menunjukkan deforestasi terus terjadi secara masif dan terencana.

Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye FWI, menilai strategi FoLU Net Sink 2030 tidak dijalankan serius di tingkat tapak. Komitmen menurunkan laju deforestasi tidak tercapai.

Data FWI mencatat total laju deforestasi dua tahun pasca disahkannya dokumen tersebut mencapai 1,93 juta hektare (2021-2023)— nilai ini melebihi kuota pengurangan laju deforestasi versi Kemenhut.

Anggi menyebut deforestasi dilakukan secara terencana dalam konsesi kehutanan seperti PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan), termasuk di konsesi hutan alam (HA), hutan tanaman (HT), dan restorasi ekosistem (RE).

Deforestasi juga terjadi di areal kebun sawit melalui skema pelepasan kawasan hutan dan dalam perizinan Perhutanan Sosial.

"Deforestasi 375.368 hektare (2021-2023) dalam PBPH seharusnya bisa dicegah jika Kemenhut tidak menyetujui rencana usaha perusahaan. Begitu pula deforestasi yang berasal dari pelepasan kawasan hutan. Hutan dirusak sawit dibangun," tegas Anggi.

Data FWI menunjukkan 1,66 juta hektare deforestasi (2021–2023) terjadi di wilayah yang diklaim KLHK sebagai kawasan hutan negara.

Kuota deforestasi Kemenhut untuk mencapai net sink 2030 sebanyak minus 577 ribu hektare dinilai mustahil tercapai jika tren deforestasi berlanjut.

Deforestasi di pulau-pulau kecil juga meningkat signifikan. Nilainya mencapai 3% dari rata-rata deforestasi nasional atau sebesar 318,6 ribu hektare (2017-2021). Sebesar 3,49 juta hektare (2021) sisa hutan alam di pulau-pulau kecil terancam rusak karena salah kelola.

Anggi menyebut tiga kesalahan utama dalam pengelolaan pulau kecil, yakni menyamakan pulau kecil dengan pulau besar, menggeneralisasi antar pulau-pulau kecil, dan pendekatan pengelolaan tanpa basis ilmiah yang bias terhadap daratan dan pulau besar.

Kebijakan Kemenhut melalui Permen LHK No. 7/2021 Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan Kawasan Hutan bahkan membuka ruang tambang di pulau kecil tanpa batasan luas, bertentangan dengan UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI tahun 2023 yang membatasi pemanfaatan di pulau kecil.

Revisi UU Kehutanan: Momentum Menentukan Nasib Hutan Indonesia

RUU Kehutanan dalam Prolegnas 2025 diperingatkan oleh akademisi pemerhati lingkungan agar tidak mengakomodasi kepentingan politik yang memasukkan pasal-pasal kontroversial dari Permen LHK No. 7/2021, turunan UU Cipta Kerja.

Narasi pembangunan seperti swasembada pangan, tambang di pulau kecil, dan transisi energi dikhawatirkan hanya melanggengkan kerusakan hutan di tingkat tapak. UUK harus berubah secara paradigmatik.

Prof. Agustinus Kastanya, akademisi Unpatti, mengkritik paradigma lama UU Kehutanan yang bersifat kolonial dengan asas domein verklaring—mengklaim hutan sebagai milik negara. Kemenhut telah menetapkan 106 juta hektare dari 125 juta hektare sebagai kawasan hutan, mencakup sekitar 66% ruang hidup masyarakat.

“Bahkan, 62% pulau kecil di Indonesia merupakan kawasan hutan. Namun, tata kelola kawasan hutan mengalami disorientatif dan destruktif karena memaknainya sebagai komoditas,” ujarnya.

Dr. Andi Chairil Ichsan (Universitas Mataram) menilai perlu redefinisi istilah seperti hutan, kawasan hutan, deforestasi, cadangan pangan, dan energi. Dalam regulasi turunan UUCK seperti Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 dan Permen LHK Nomor 07/2021, kawasan hutan diperlakukan sebagai komoditas untuk proyek pangan, energi, tambang, dan tanaman monokultur. Definisi deforestasi sengaja dibuat kabur untuk menutupi kerusakan hutan di lapangan.

Prof. La Ode M. Aslan (Universitas Halu Oleo/Forum Akademisi Timur Melawan Tambang Di Pulau Kecil) mengungkap 242 pulau kecil telah dikaveling tambang seluas 245 ribu hektare—setara tiga kali luas Singapura. Tambang di pulau kecil tidak hanya merusak daratan, tetapi juga mencemari sungai, pesisir, dan laut. Di Sulawesi Tenggara, masyarakat pesisir Kabaena terdampak logam berat akibat pencemaran aktivitas tambang.

Deforestasi tidak bisa hanya dimaknai sebagai pelepasan emisi. Di balik deforestasi yang terjadi secara terencana, terdapat fungsi-fungsi penting hutan hilang seperti, ruang hidup masyarakat adat, konservasi air dan tanah, pengatur iklim mikro, pengendalian bencana, biodiversitas hingga sumber air dan pangan.

Upaya menurunkan laju deforestasi demi target emisi 2030 harus dimaknai sebagai komitmen melindungi fungsi hutan sebagai ekosistem. Serta membutuhkan perubahan kebijakan yang serius, terutama dalam revisi UU Kehutanan yang berpihak pada perlindungan hutan dan keadilan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal (*)

Editor : Redaksi