BERTABETA.COM, Ambon – Wacana masa jabatan Presiden – Wakil Presiden menuai polemic dan kontroversi di tengah public Indonesia termasuk Maluku. Issu ini dinilai sangat bertabrakan dengan amanat reformasi.

Akademisi menyikapinya merujuk UUD 1945 ke-empat yang notabenenya tidak memberikan peluang untuk periodesasi (jabatan) Presiden - Wapres RI tiga periode. Sebaliknya issu ini dinilai sengaja dihembuskan oknum tertentu, dan mungkin saja punya unsur atau muatan lain di balik wacana tersebut.

“Walaupun masih sekadar issu, tapi (wacana jabatan presiden tiga periode) itu manuver politik yang sengaja dibuat oknum tertentu. Ini mungkin saja memancing pendapat opini public untuk menjadi kritis,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pattimura Ambon, Amir Kotarumalos, saat dimintai pendapatannya oleh beritabeta.com di Ambon, Rabu (24/03/2021).

Menurut Amir, jika ada kaitannya dengan permainan oligarki kepentingan lintas partai politik (parpol) dalam bentuk koalisi yang terbangun saat ini, maka hal itu merupakan bentuk pengingkaran terhadap amanat reformasi 1998, serta tuntutan rakyat.

“System politik ini sudah terbajak oleh kekuatan oligarki. Sudah saling mengikat di dalam oligarki yang kemudian saling mengontrak atau saling sepakat dari pemilu ke pemilu untuk mengotak-atik  kepentingan di level atas,” tandasnya.

Apakah isu ini merupakan manuver parpol tertentu untuk mempertahankan kekuasaan?  “Ya bisa saja demikian! manuver parpol tertentu untuk mempertahankan kekuasaan dengan menggandeng kekuatan parpol lain yang sudah diikat dalam bentuk koalisi-koalisi oligarki kepentingan,” jelasnya.

Jika mau mengamandemen UUD 1945 lagi, otomatis kekuatan-kekuatan (oligarki kepentingan) ini, mereka yang membangun atau menghimpun kekuatan parpol di DPR dan DPD untuk membawa masalah ini ke MPR.

Meski demikian, Amir menilai, bisa juga issu ini sengaja dimainkan dalam sisi pendidikan politik untuk melihat kritisme masyarakat terkait dengan wacana periodesasi jabatan presiden-wapres.

Kalau pun bisa (jabatan presiden-wapres tiga periode), maka tidak berdiri sendiri. Tetapi parpol tertentu yang akan menghimpun kekuatan oligarki yang sudah terbangun melalui koalisi permanen khusus di DPR, dan mereka yang akan menentukan arah perjalanan politik bangsa kedepan.

Ia menolak massa jabatan Presiden-Wapres diperpanjang menjadi tiga periode. Dalilnya, karena itu sangat bertabrakan dengan amanat reformasi 1998.

Sebab salah satu desakan rakyat saat itu (1998), mereform kembali tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara dimana saat itu masa periodesasi presiden begitu lama.

“Karena pak Harto (Soeharto, Presiden RI Ke-2), selama 32 tahun memimpin negara ini, sehingga direformasi cukup untuk dua tahun saja,” timpalnya.

Amir membandingkan, masalah seperti ini (jabatan presiden tiga periode) itu bagi negara yang kemudian menganut system politik konvensional seperti Skandinavia (negara semenanjung di bagian utara Eropa), bisa membuat referendum.

Tapi, Indonesia tidak punya kebiasaan politik konstitusional demikian. Tentunya semua ini dikembalikan kepada yang mengamandemen UUD 1945 yaitu MPR.

“Otomatis MPR itu kekuatan DPR dan DPD. Kalau ini jadi dibawa ke MPR, maka dinamika politik Indonesia yang dimainkan oleh beberapa actor oligarki ini telah mengkhianati amanat reformasi 1998,” tegasnya.

Orang yang kemudian banyak mendapat sorotan massa baik media internal negara maupun di luar negeri otomatis mereka menjaga ritme dan akan berhati-hati juga.

“Jadi melalui media mainstrem bisa juga pihak-pihak ketiga yang tidak ingin Indonesia aman, lalu sengaja memainkan isu-isu murahan seperti ini,” tegasnya.

Ia merujuk Pasal 7 UUD 1945 setelah amandemen bunyinya “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.

“Jadi (jabatan presiden-wapres) cukup dua periode. Amandemen 1945 ini kan atas dasar tuntutan rakyat melalui amanat reformasi. Saya kira sudah sangat jelas. Kalau ada yang merubah lagi, harus dilaksanakan melalui sidang umum MPR,” timpalnya.

Namun jika itu dilakukan apakah rakyat akan setuju, ataukah ini hanya menjadi kehendak parpol-parpol yang kemudian kuat membangun oligarki kepentingan atas nama kekuatan politik dalam negara ini?

“Jika tetap dipaksakan untuk amandemen lagi pasal terkait jabatan presiden-wapres itu lebih dari dua periode, maka para wakil rakyat itu sudah mengingkari amanat refomrasi,” tandasnya. (BB-SSL)