Disinilah muncul peran terdakwa Fariba selaku pelaku utama. Apakah sebagai intelectual dader (pelaku intelektual) yang mengatur kejahatan terhadap pelaku langsung dalam hubungan dengan pelaku lainnya sesuai ajaran delneming/penyertaan?

Sampai sekarang ini masih berlangsung pembuktiannya di persidangan. Walaupun demikian, yakin bahwa majelis hakim sudah punya penilaian hukum tersendiri mengenai fakta persidangannya.

Begitu pula unsur pidana uitloker (orang yang membujuk) adalah perbuatan yang menggerakan orang lain untuk melakukan kejahatan atau sesuatu perbuatan terlarang. Sedangkan membantu melakukan (Medeplichtige) berarti delik dilakukan karena sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Ajaran delneming berupa “unsur turut serta melakukan” ini yang banyak dalam praktek peradilan pidana pada putusan hakim. Turut serta melakukan berarti bersama-sama melakukan atau setidaknya harus ada 2 orang. Yaitu orang yang melakukan (Dader/pleger) dan orang yang turut melakukan (Mededader).

Biasanya unsur orang yang turut melakukan (Mededader) dalam pandangan para ahli hukum memberi petunjuk akan cara perbuatan tersebut dilakukan. Antara lain, harus ada kerja sama secara fisik dan memiliki kesadaran atau keinsyafan dalam kerja sama tersebut untuk mencapai maksud dan tujuan.

Jika menyimak dan mengkaji hasil persidangan sesuai berita media online Spektrum, terungkap fakta persidangan keterlibatan Faradiba, Soraya Pelu, Manaf, Hasan Slamet, Jhoni de Queljoe alias Siong dan nasabah lain di Makassar penerima transfer.

Mereka dalam kapasitas ada yang menerima, memperoleh transferan dan menikmati uang/dana hasil kejahatan pembobolan dana nasabah Bank BNI di Maluku. Kesemuanya tidak bisa keluar dari jeratan hukum dalam hubungannya dengan ajaran delneming (penyertaan).

Dalam kasus Bank BNI terdapat hubungan hukum diantara mereka para pelaku. Baik ada yang menerima aliran dana dalam rekening maupun menikmati hasil kejahatan dalam bentuk belanja berlian dan mobil mewah, sebagaimana berita media online spektrum.

Hal itu menunjukan secara hukum terdapat hubungan keadaan kausal yang menyertai perbuatan mereka baik keadan kontak fisik yang menuju kepada kuatnya (kentalnya) perbuatan kerja sama hingga tujuan delik dapat tercapai.

Belum lagi jika perbuatan dikaji dari unsur sengaja. Mungkin mereka bisa mengelak sama sekali tidak sengaja dalam niat/maksud. Tetapi setidaknya unsur sengaja sebagai menginsyafi kemungkinan akan timbulnya kejahatan. Atau kelalaian atas perbuatan mereka dalam hubungannya dengan unsur pidana pada kata “patut di duga”.

Unsur pidana tersebut dalam hubungannya dengan fakta persidangan, bahwa ada rekening yang ditransfer bermilyar rupiah. Dimana harusnya pemilik rekening menyadari atau setidaknya menginsyafi kemungkinan rekeningnya tersebut dipakai untuk berstransaksi kejahatan.

Perbuatan mereka dalam pertanggung jawaban pidana sangat sulit untuk keluar dari jeratan hukum dalam ajaran delneming. Apalagi Jaksa PU telah mengunci hukumnya dengan memberlakukan UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Kejahatan Pencucian Uang) yang di dalamnya terdapat delik formil pada pasal 3, 4 dan 5 ayat (1) UU Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Dalam ajaran delneming, mereka yang memberi rekening untuk menerima atau memperoleh transferan uang dan/atau yang menikmati kekayaan (belanja berlian dan mobil mewah) dari hasil kejahatan pada kasus BNI dimaksud, cukup beralasan dapat didudukan di meja hijau untuk mempertanggung jawabkan perbuatan pidana mereka.

Penulis menyadari bahwa pemeriksaan hakim dipersidangan tidak bisa dianulir dengan opini hukum, namun harus didasari pada fakta persidangan. Akan tetapi dengan tulisan ini minimal publik bisa mengetahui dan memahami bahwa, ajaran hukum pidana tentang delneming/ penyertaan dapat digunakan untuk menentukan siapa saja sebagai pembuat (pelaku dalam arti luas) dalam pertanggung jawaban pidana pada kasus Bank BNI di Maluku yang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Ambon (***)