Oleh : Muhammad Kashai Ramdhani Pelupessy (Dosen Psikologi dan Peneliti di Pusat Studi Masyarakat Kepulauan IAIN Ambon)

Belakangan ini, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia cenderung naik secara signifikan dari tahun ke tahun. Terbukti dari hasil survei SPHPN 2021 yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), bahwa kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dari 1,8% pada tahun 2016 menjadi 2% di tahun 2021.

Banyak riset menjelaskan bahwa masalah ini disebabkan banyak faktor, seperti ketidakstabilan ekonomi, kondisi emosional, rendahnya pengetahuan hukum, serta budaya patriarki.

Dari sekian banyak faktor tersebut, budaya patriarki merupakan pemicu kuat munculnya kekerasan terhadap perempuan. Meskipun kondisi keuangan stabil, tapi kalau realitas kebudayaannya sangat patriarki, maka eksploitasi terhadap perempuan akan terus terjadi. Dengan kata lain, perempuan yang hidup di dalam penjara budaya patriarki muskil melepaskan dirinya sebagai objek kekerasan.

Pertanyaan kritisnya adalah apakah budaya patriarki adalah sesuatu yang ‘taken for granted’? Apakah di dalam penjara budaya patriarki, perempuan dapat mengekspresikan keberadaan tubuhnya sehingga menjadi setara dengan laki-laki? Bagaimana perempuan melakukannya agar dirinya tidak terus menjadi objek eksploitatif laki-laki? Dalam tulisan ini saya mencoba mendiskusikannya lebih jauh.

Embrio Mempersoalkan Budaya Patriarki

Budaya patriarki merupakan hasil konstruksi sejarah. Budaya ini muncul ketika manusia mulai mengenal kebiasaan bertani setelah zaman es terakhir mencair sekitar 8.000 – 11.000 tahun lalu. Pembukaan lahan untuk bercocok tanam demi bertahan hidup membutuhkan jumlah penduduk yang banyak.

Olehnya itu, perempuan harus bersedia sekaligus bertanggungjawab menambah angka demografi penduduk tersebut. Penambahan demografi hanya bisa dilakukan jika perempuan dapat melahirkan anak yang banyak.  Pada posisi inilah menurut filsuf Yunani, Plato, mengatakan bahwa perempuan tidak lebih dari sekedar pelengkap bagi reproduksi laki-laki.

Situasi itu yang kemudian melahirkan persepsi sosial tentang segregasi peran perempuan dan laki-laki di ruang publik. Persepsi sosial tentang perempuan bermula dari anggapan tentang eksistensi tubuh perempuan adalah manusia yang lemah, tidak bisa melakukan apa-apa kecuali melahirkan dan menyusui saja.

Bahkan, perempuan juga dipersepsikan tidak bisa melakukan pengambilan keputusan, tidak punya kemampuan merasionalisasikan sesuatu hal, dan bahkan juga tidak bisa mengutarakan hak politiknya di depan banyak orang. Perempuan semakin terkurung di dalam penjara patriarki yang lahir dari konstruksi sejarah.

Persepsi sosial tentang eksistensi tubuh perempuan yang lemah itu terus bertahan hingga era mendatang, dan mengakar kuat dalam argumentasi para filsuf dari zaman Yunani hingga abad Pencerahan. Salah satu filsuf Yunani, Plato, yang pendapatnya sudah saya singgung di atas adalah contohnya. Dia berpandangan bahwa peran perempuan itu lemah secara fisik, sehingga wajar menjadi objek eksploitasi laki-laki demi kelancaran reproduksi. Jean-Paul Sartre, filsuf Prancis beraliran eksistensialisme juga memposisikan perempuan tak lebih dari benda yang diistilahkannya ‘the others'.

Argumentasi-argumentasi itu menunjukkan bahwa kuatnya segregasi peran perempuan dan laki-laki ini mulai muncul saat persepsi sosial tentang tubuh perempuan sebagai manusia-minor, yang hal ini kemudian melanggengkan budaya patriarki semakin kokoh dan kuat. Budaya ini merupakan hasil konstruksi sejarah yang didalamnya terdapat kontestasi persepsi sosial tentang tubuh perempuan.

Sebagai konstruksi sejarah, tentu budaya patriarki tidak bisa lepas dari proses sinkronik-diakronik yang akan berusaha mendebatnya secara terus menerus hingga sekarang.

Upaya menggugat budaya patriarki bermula ketika Sigmund Freud mengemukakan teorinya tentang ‘penis envy'. Teori ini menjelaskan bahwa kecemasan dan perasaan inferior yang dirasakan perempuan adalah karena ia (si perempuan) mempersepsikan tubuhnya tidak memiliki penis seperti laki-laki. Cetusan teori ini yang nantinya melahirkan gerakan feminim untuk menggugatnya.

Teori itu bagi aktivis feminim adalah bibit-bibit dari pandangan budaya patriarki yang tumbuh di otak Sigmund Freud. Meskipun aksi protes cukup kuat mengarah pada Freud, namun teorinya tentang ‘penis envy' ini secara tidak langsung memicu munculnya refleksi untuk mempersoalkan, “Apakah karena tubuh perempuan sudah terlanjur berada di dalam penjara patriarki sehingga ia mau-tak-mau harus mempersepsikan dirinya inferior akibat ketiadaan penis? Bagaimana perempuan mempersepsikan tubuhnya yang sesungguhnya di dalam penjara patriarki?”.

Sederet pertanyaan reflektif itu yang mendorong aktivis feminim semakin termotivasi mendebat budaya patriarki yang terlanjur kokoh. Pertanyaan gugatan itu menunjukkan bahwa hadirnya budaya patriarki bukanlah sesuatu yang ‘taken for granted'.

Budaya ini telah membuka ruang diskursus yang jauh lebih kompleks, terutama tentang bagaimana perempuan mempersepsikan tubuhnya sendiri sebagai langkah awal dirinya menampilkan ekspresi kemerdekaannya di dalam penjara patriarki.

Kemerdekaan Perempuan

Sejauh ini, persepsi mengenai tubuh perempuan cenderung terkurung di dalam persepsi sosial tentangnya. Perempuan tidak punya kemerdekaan mempersepsikan tubuhnya sendiri. Kalaupun perempuan berusaha mempersepsikan tubuhnya, maka hasilnya pun kerap terkontaminasi oleh persepsi sosial tentangnya sebagai makhluk lemah, alias eksistensi perempuan di dunia hanya untuk melahirkan dan menyusui saja. Begitulah persepsi sosial tentang perempuan.

Meskipun melahirkan dan menyusui merupakan kodrat perempuan yang tak bisa kita bantah, namun beranjak dari dua hal itulah maka perempuan dipersepsikan secara sosial sebagai manusia yang tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya alat pelengkap bagi reproduksi laki-laki.

Persepsi sosial yang mengurung perempuan itulah sehingga membuatnya tidak bisa mandiri memutuskan pilihannya sendiri. Kebebasan memutuskan pilihan disini tidak berarti perempuan memilih melepaskan kodratnya sebagai insan menyusui dan melahirkan, melainkan kebebasan pilihan itu lebih mengenai peran keperempuanannya di tengah pergaulan sosial.

Misalnya, kemerdekaan perempuan memilih bekerja di sana atau di sini, kemampuan mengutarakan rasionalitasnya di hadapan publik, serta mampu menampakkan hak serta kewajiban politisnya.

Kemerdekaan perempuan bisa terwujud apabila ia secara mandiri mempersepsikan tubuhnya sendiri tanpa terpengaruh persepsi sosial sebagai penjara patriarki terhadap dirinya. Kemerdekaan perempuan mempersepsikan tubuhnya sendiri bisa dimulai dari ia mempersoalkan kepantasan persepsi sosial tentang tubuhnya dalam aspek seksualitas dan ruang.

Melalui persepsi menubuh, perempuan akan menemukan bahwa diskriminasi-diskriminasi yang dilayangkan pada dirinya adalah hasil konstruksi sosial saat ia berada di dalam ruang penjara patriarki. Begitupun dengan seksualitas, melalui persepsi menubuh, perempuan akan menyadari bahwa kepantasan seksualitasnya di dalam ruang penjara patriarki juga merupakan buah dari konstruksi sosial.

Berangkat dari kesadaran mempersepsi tubuhnya secara kritis di dalam penjara patriarki itulah maka ia dapat meraih kemerdekaan paripurna di kemudian hari. Melalui persepsi tentang tubuhnya secara mandiri, maka perempuan akan menyadari bahwa tubuhnya sekarang merupakan hasil konstruksi sosial dengan kebenaran yang masih relatif. Sebab itulah maka perempuan akan berusaha menggugatnya untuk “menjadi perempuan seutuhnya – becoming a women” di kemudian hari.

Istilah “menjadi perempuan” bukan berarti perempuan harus menjadi “superwoman”, melainkan perempuan yang betul-betul merdeka memutuskan pilihannya sendiri mau seperti apa, bekerja dimana, mampu mengutarakan pendapat rasionalnya di depan umum, serta mampu menampilkan hak dan kewajiban politisnya, ini semua tanpa menggugurkan kodratnya sebagai makhluk menyusui dan melahirkan.

Kemerdekaan perempuan di dalam penjara patriarki bisa diraih dengan cara seperti ulasan tersebut, yakni melalui persepsi menubuhnya sendiri. Dengan demikian maka perempuan tidak akan terus menjadi objek eksploitatif laki-laki, sehingga hal ini bisa menyelesaikan permasalahan kekerasan terhadap perempuan yang belakangan ini terus meningkat setiap tahunnya (*)