BERITABETA.COM – Peristiwa Gerakan 30 September 1965 telah mengubah jalan hidup seorang Oie Hiem Hwie, bekerja sebagai wartawan surat kabar “Trompet Masjarakat” pada zaman orde lama membuatnya dicap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), namanya masuk daftar orang untuk dihabisi pada masa tersebut. Surat kabar Trompet Masjarakat tempatnya bekerja dicurigai sebagai media PKI hanya karena dekat dengan Presiden Soekarno.

Hwie akhirnya ditangkap, ia dipindah dari penjara ke penjara, mulai dari Jawa Timur sampai ke Jawa Tengah, sampai  berlayar ke Pulau Buru, salah satu penjara khusus bagi mereka yang menjadi tahanan politik pada tahun 1965, di sana ia bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer, serta mendapatkan titipan naskah asli tetralogi Pulau Buru saat hendak dibebaskan. PERSPEKTIF mencoba merangkum kisah eks tahanan politik 1965 tersebut.

***

Oie Hiem Hwie, merupakan eks tahanan politik 1965 (eks tapol 65). Hwie, sapaan akrabnya, lahir di Malang tepatnya di Klojen Kidul, 23 November 1935. Kepada awak PERSPEKTIF Hwie membagi kisahnya.

Meraba-raba perjalanan hidup laki-laki 82 tahun tersebut tentu bukan perkara mudah, banyak cerita menarik yang tersuguhkan. Sewaktu-waktu kami perlu mencerna lebih lama perkataan dari Hwie karena suaranya kadang-kadang terdengar samar. Penyebabnya adalah ia pernah mengidap penyakit vertigo yang berpengaruh kepada cara bicaranya.

Ia memulai kisahnya saat pertama kali menjajaki karir sebagai wartawan, memang sejak lama Hwie bercita-cita ingin menjadi wartawan, untuk menunaikan hal tersebut, ia meninggalkan Malang lalu pergi ke Jogjakarta, untuk sekolah wartawan di sana, setelah lulus, Hwie melamar kerja di berbagai surat kabar, dan ia pun diterima bekerja di Trompet Masjarakat.

Hwie mungkin tak menyangka, menjadi wartawan telah mengantarkannya ke berbagai simpul-simpul kehidupan yang ia pun tak tahu seperti apa akhirnya. Kejutan itu tiba-tiba saja datang, ia berkesempatan untuk mewawancarai Presiden Soekarno di Istana Negara pada tahun 1963. Kondisi politik pada tahun itu cukup memanas, Presiden Soekarno menarik Indonesia dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyusul masuknya Malaysia sebagai anggota, sebab-musababnya adalah Soekarno menentang pendirian negara Malaysia.

Tentu bagi seorang Hwie, mewawancarai tokoh kharismatik seperti Soekarno menjadi tantangan tersendiri. “Pertama, salam. Ini salaman seperti kesetrum. Bung Karno itu sakti. Ketiak tuh kesetrum,” kenangnya. Perjumpaannya pertama kali dengan Presiden Soekarno saat itu tentu sangat berbekas bagi Hwie, ia terkesan dengan ketelitian dari Soekarno yang tiba-tiba saja merapikan pakaiannya, serta menghadiahkan jam tangan untuk Hwie.

“Dikasih Bung Karno. Jamnya keemas-emasan,” jelasnya sambil menunjuk kotak kaca tempat ia masih menyimpan jam tersebut.

Kesan itulah yang membuat Hwie memampang pigura raksasa potret Soekarno di pintu masuk Perpustakaan miliknya, potret tersebut adalah hasil jepretan Hwie sendiri saat memotret Soekarno di serambi belakang, Istana Negara. Ia punya banyak jepretan foto Soekarno, namun hanya tersisa satu karena yang lainnya dirampas. “Kok jadi itu (potret Soekarno) besar lagi. Untung ndak dirampas,” kenangnya.