Selain itu, ia punya beberapa keping piringan besar yang berisi pidato Soekarno, yang direkamnya sendiri. Namun, karirnya sebagai wartawan surat kabar Trompet Masjarakat tak terbilang panjang. Gejolak politik peristiwa gerakan 30 September telah mengubah kehidupan Hwie 180 derajat. “Nah, terus, Bung Karno jatuh, ditahan, sakit, ditaruh  di Wisma Yasoo, ya, saya ditangkep,”

Surat Kabar Trompet Masjarakat tempatnya bekerja dibredel karena dianggap media partisan Soekarno, underbouw PKI. “Nah, Trompet itu bukan media PKI. Bukan. Tapi progresif revolusioner. Jaman dulu,” sanggahnya.

Kantor Trompet Masjarakat kemudian digeledah, redaktur-redakturnya ditangkap, arsip-arsip koran, buku, dirampas lalu dibakar. Adik Hwie mencoba menyelamatkan beberapa sisa arsip yang ada dengan menaruhnya di atas plafon. Kepada awak PERSPEKTIF Hwie kemudian menunjukkan selembar koran Trompet Masjarakat yang telah usang dan berwarna kecoklatan.

Sisa-sisa dari buku dan koran itulah yang kemudian disimpan dan dijadikan koleksi di Perpustakaan Medayu Agung miliknya. Nama Hwie masuk dalam daftar orang untuk dihabisi pada peristiwa 30 September 1965, namun, tentara pada saat itu tidak bisa membuktikan bahwa Hwie adalah anggota PKI. Sedangkan yang sudah terbukti bahwa dia adalah anggota PKI langsung dihabisi.

“Karena bukan PKI, saya dibawa ke Malang lagi. Saya kira bebas kan. Tidak. Ditaruh lagi di penjara Lowokwaru. Penjara paling besar di Malang, bikinan Belanda,” terangnya getir.

Hwie terus berpindah dari penjara ke penjara, sehabis dari penjara Lowokwaru, ia dijebloskan ke penjara Kalisosok, Surabaya. Penjara tersebut juga pernah ditempati oleh Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto saat ditahan oleh kolonial Belanda, beliau merupakan guru dari Soekarno.

“Pindah ke Koblen. Koblen dulu ada. Sekarang sudah ndak ada. Koblen dihancurkan. Koblen itu penjaranya tentara. Terus puter-puter, pindah-pindah, kan. Balik lagi, pindah ada lima tahun,” terangnya.

Selama dipenjara Hwie hanya makan sekepal nasi dengan lauk sepotong tempe. Waktu kemudian membawa Hwie berlayar menuju penjara Nusakambangan, yang terletak di Jawa Tengah, Kabupaten Cilacap.

Pada tahun 1970, bersamaan dengan meninggalnya Soekarno, putra sang fajar, Hwie berangkat menuju pulau Buru, yang terletak di Ambon, Maluku, dengan berlayar menggunakan kapal Tobelo.

Pulau Buru tentu menjadi mimpi buruk bagi para tahanan politik 1965 saat itu, “Di sana (Pulau Buru) pulaunya sama Bali lebih besar, tapi masih kosong. Masih hutan. Suruh babat alas. Ada pake gergajian, ada pake nyangkul. Terus, berdiri barak,” ucapnya.

Para tahanan politik 1965 saat itu untuk memenuhi kebutuhan perut mereka dengan cara bertani, jika pertanian gagal maka mereka pun tak makan. “Kalo yang berhasil singkong ya makan singkong, telo ya makan telo,” terangnya.

“Tentara dapet makan. Kita harus kasih makanan. Jadi kita kerja, selain ngisi perut sendiri, juga ngisi perutnya mereka,” sambungnya.

Menjadi tapol di Pulau Buru membuat Hwie menemukan kejutan selanjutnya dalam hidupnya, ia mungkin tak menyangka akan bertemu dengan seorang penulis besar seperti Pramoedya Ananta Toer. Ia tak begitu menceritakan detil seperti apa ia sampai dapat bertemu dengan Pram, namun yang paling ia ingat adalah nasehat Pram kepada dirinya sewaktu di Pulau Buru.

“Kamu Hwie, jangan mikir pacar, jangan pikirin ibu. Jangan pikir siapa-siapa. Kalau kamu pikir-pikir, bisa kendat (bunuh diri). Anggep saya dosenmu. Kamu murid saya, belajarlah,” ucapnya menirukan nasehat Pram saat itu.

Pram selama di Pulau Buru berada di barak tahanan tersendiri, ia terisolir dari tahanan lainnya. Hwie kemudian membolongi dinding tersebut untuk bisa melihat Pram, karena posisi barak Pram letaknya tepat di depan ladang garapannya. Pram terisolir karena ia dianggap tokoh pada waktu itu.

Ketokohan Pram yang kemudian membuat pemerintah orde baru saat itu harus menyerah dan memberikan keistimewaan untuk Pram, yakni boleh menulis, lalu disediakanlah mesin tik. Karena ada desakan dari luar negeri kalau Pram harus menulis.