“Pram itu Anggotannya Dewan Pengarang Internasional. Protes. Ndak nulis, ndak boleh. Nah, terus, Suharto ngijino nulis. Saat itu, Suharto butuh ini (uang) karena duite entek, dijukuki koncone, teman-temane, negoro akeh, nah, terpaksa butuh bantuan luar negeri. Mau bantu, akhirnya Pram disuruh nulis,” ungkapnya semangat.

“Pram nulis buku Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca. Yang pertama Arok Dedes. Semua didasarkan ilmu. Berdasarkan sejarah dan berdasarkan politik. Saya baca kan. Wah, disuruh baca saya. Terus, lek supaya lupa, saya dapat batok kelapa. Tak ukir,” kenang Hwie selama menjadi saksi kehidupan Pram.

Berbagai lembaga kemanusiaan Internasional kemudian mendesak pemerintah orde baru untuk membebaskan para tahanan politik 1965, diantaranya adalah Palang Merah Internasional dan Amnesty Internasional.

Tahun 1978, Hwie bebas, setelah bertahun-tahun ditahan di Pulau Buru. Tak mudah bagi Hwie tentunya setelah menghabiskan usia produktifnya dari penjara ke penjara. Kejutan tentunya datang lagi menghampiri Hwie. Ia yang lebih dulu bebas dari Pulau Buru, dititipkan Pram naskah asli tetralogi Pulau Buru. Karena Pram bebas setahunnya lagi, tepatnya 1979.

“Nah, itu. Waktu saya mau pulang, pamit sama Pram,” terangnya

“Iya. Saya titip naskah,” ucapnya meniru perkataan Pram.

“Tak simpen. Terus tak bawa. Untung saya ndak digeledah. Kalo digeledah, ketemu, mungkin saya dibunuh. Gak dipukuli, ak dibunuh, saya gak diperiksa. Justru lainnya diperiksa. Sampe naik kapal,” jelasnya.

Setelah mengetahui Pram bebas, Hwie ke Jakarta untuk mengembalikan naskah asli tersebut. Namun, ia tak menyangka bahwa Pram memercayai naskah asli tersebut disimpan oleh Hwie, sedangkan Pram cukup memegang fotokopinya saja.

Walaupun telah bebas dari penjara-penjara yang telah ia cap selama 15 tahun tak menjamin kehidupan Hwie terhindar dari nelangsa. Kartu Tanda Penduduk (KTP) miliknya diberi tanda “ET” yang merupakan singkatan dari Eks Tapol.

“Eks-Tapol. Gak iso kerjo. Kalo kerja wah “ET” ndak ada, ndak bisa. Ke bank mau pinjem, “ET”, dia omong gak ada duit. Mosok bank ndak ada duit,” kenangnya.

Karena statusnya sebagai eks tapol, Hwie merasakan nestapa dalam hidupnya, namun ia tak bergeming. Untuk mendapatkan makanan ia ikut bersama adiknya. Pernah suatu ketika ia mendapatkan kue kering yang dibungkus plastik dari temannya. Semua itu dialami oleh Hwie karena tanda ET pada KTPnya membuat ia luntang-lantung tak menentu.

Garis hidup akhirnya sedikit berpihak kepda laki-laki 82 tahun tersebut. Pada tahun 1992 berdirilah Perpustakaan Medayu Agung Rungkut, Hwie tentu sangat jeli dalam mengurus serta merawat barang-barang yang mempunyai nilai sejarah tinggi di Perpustakaan tersebut, sehingga ia mendapatkan suntikan dana dari para donatur. Ia menceritakan, pernah suatu hari peneliti dari Australia ingin membeli semua koleksi perpustakaan milik Hwie dengan mengiming-imingi uang 1 Miliyar Rupiah.

“Kalau saya almarhum, dipanggil Tuhan, harus nyisakan sesuatu untuk generasi muda ini, berbentuk perpustakaan,” pungkasnya. (***)

Disadur dari:  LPM Perspektif