Keterasingan Politik
Oleh : M.J. Latuconsina, S.IP, MA (Pemerhati Sosial Politik)
TIDAK saja warga masyarakat yang berada di negara-negara yang sudah maju dalam berdemokrasi, akan mengalami keterasingan politik (political alienation) terhadap struktur politik dalam sistem politiknya, melainkan juga warga masyarakat yang berada di negara-negara, yang demokrasinya sedang mengalami konsolidasi, atau yang populer dengan istilah “demokrasi terkonsolidasi” seperti yang diperkenalkan Gerry van Klinken (2018).
Dimana akan mengalami keterasingan politik terhadap struktur politik dalam sistem politiknya. Kondisi ini seperti layaknya, dialami pada negara-negara “demokrasi terkonsolidasi”, yang berada di kawasan Afrika, Amerika, Eropa, Asia dan Pasifik.
Kita lantas bertanya-tanya apa gerangan keterasingan politik itu ? Guna menjawabnya kita perlu back to back, berdasarkan riset komunikasi politik yang dilakukan Michael J. Robinson (1975) pada era 1970-an, dimana ia berangkat dari hipotesis menyangkut dengan political disaffection, yang mengacu pada perasaan negatif individu atau kelompok terhadap sistem politik di Amerika Serikat.
Penyebab utamanya media massa terutama televisi. Dengan banyaknya individu yang menyaksikan acara televisi, terutama berita-berita politik, maka mereka mengalami keterasingan politik.
Keterasingan ini akibat melemahnya dukungan terhadap struktur politik yang ada dalam sistem politik, seperti parlemen, kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya. Individu merasa bahwa struktur tersebut dianggap tidak lagi memperhatikan kepentingan mereka.
Wujud keterasingan ini mucul dalam bentuk sinisme politik berupa protes, demonstrasi, dan huru-hara. Tentu fakta yang disampaikan televisi itu, berimplikasi terhadap persepsi negatif warga negara Amerika Serikat terhadap struktur politik dalam sistem politik mereka saat itu.
Dalam konteks kekinian, tatkala dunia mengalami revolusi teknologi komunikasi (communication technology revolution) yang hebat, menjadikan televisi seperti layaknya di Amerika Serikat di era tahun 1970-an, tidak lagi menjadi sumber berita utama yang dapat diandalkan.
Akan tetapi media sosial (social media) seperti facebook, twitter, line, whatsapp dan berbagai jenis media sosial lainnya dapat menjadi ruang interaksi bagi warga masyarakat, untuk menilai langsung struktur politik, yang terdapat pada sistem politik di negara mereka seperti parlemen, kepresidenan, kehakiman, partai politik dan lembaga-lembaga lainnya.
Penilaian warga masyarakat terhadap parlemen, kepresidenan, kehakiman, partai politik dan lembaga-lembaga lainnya, baik itu melalui pemberitaan media massa yang disajikan melalui kanal media sosial, maupun interaksi antara warga masyarakat melalui kanal media sosial, dapat berimplikasi negatif terhadap sistem politik mereka, jika lembaga-lembaga itu tak bekerja maksimal untuk memenuhi ekspetasi publik.
Hal ini berdampak terhadap sinisme mereka, dalam bentuk protes yang disampaikan melalui media sosial, dimana kecepatan menanggapi kinerja lembaga-lembaga, yang tak optimal itu hanya dalam hitungan detik, tak lagi hari layaknya memprotes melalui media masa cetak dan eletronik.
Jika tak direspons oleh lembaga-lembaga yang berada dalam sistem politik, untuk membenahinya, maka lambat laut warga masyarkat menjadi apatis, lantas mereka pun mengalami keterasangan politik.
Tentu sesuatu yang ironis, padahal ekspetasi warga masyarakat begitu besar agar lembaga-lembaga itu, dapat mendengar aspirasi mereka dan kemudian memberikan solusi. Fenomena menunjukan, tak sedikit negara-negara dalam kategori “demokrasi terkonsolidasi” melalui lembaga-lembaganya itu, seringkali memandang aspirasi warga masyarakat, yang menyangkut dengan masalah sosial kemasyarakatan yang disampaikan melalui media masa, justru dianggap sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan.
Terlepas dari itu, beberapa pekan lalu, seorang mantan birokrat senior di republik ini mengkritik salah seorang menteri melalui youtubenya, dimana menurutnya hanya memikirkan “uang, uang dan uang,” yang merupakan respons mantan birokrat senior itu terhadap menteri dalam menghadapi wabah corona.
Kasus ini hingga kini belum tuntas, melainkan bak bola liar yang kemudian mengena salah satu mantan pimpinan organisasi massa Islam, yang turut meresponsnya. Belum lagi warga masyarakat, tidak bisa sembarangan memprotes pejabat pemerintah dan presiden di media sosial terkait dengan kebijakan penanggulangan pendemi corona, yang mengarah kepada penghinaan.
Jika warga masyarakat kedapatan kritik terhadap pejabat pemerintah dan presiden, di media sosial terkait dengan kebijakan penanggulangan pendemi corona, yang mengarah kepada penghinaan bisa ditindak oleh aparat penegak hukum.
Barangkali yang diprioritaskan pemerintah adalah menciptakan stabilitas menuju ketertiban dalam rangka penanggulangan pendemi corona. Tapi kalau dibiarkan terus menerus, maka partisipasi politik warga masyarakat dalam mengkritik pemerintah, yang terkait dengan berbagai kebijakan strategis, yang relevan dengan kepentingan publik akan mengalami devisit.
Kalau sampai warga masyarakat mengalami devisit partisipasi, maka yang di kuatirkan warga masyarakat lambat laut akan mengalami keterasingan politik. Pasalnya, suara mereka yang kritik tak lagi di dengar.
Padahal bapak proklamator kita Ir. Soekarno, pada suatu kesempatan pernah mengungkapkan dalam bahasa kontemplatif bahwa, “janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa para pemimpin berasal dari rakyat, dan bukan berada atas rakyat.”
Memaknai ungkapan itu, maka tentunya para pimpinan pemerintahan perlu dengan saksama mendengar aspirasi warga masyarakat dalam bentuk kritikan, karena warga masyarakatlah yang lebih mengetahui suatu permasalan sosial, yang dialami mereka (***)