Kuntowijoyo, seorang sastrawan dan intelektual Muhammadiyah pernah menulis sebuah cerita pendek (cerpen). Dia bercerita tentang seorang pengusaha konveksi berusia 37 tahun bernama Sutarjo yang mencalonkan diri menjadi kepala desa di Jogjakarta.

Rivalnya adalah seorang pensiunan TNI. Dalam pemilihan, Sutardjo memakai tanda gambar ‘padi’ dan sang pensiunan kapten memakai tanda gambar ‘senapan’.

Sutardjo adalah warga Muhammadiyah. Namun dia diisukan tak ‘bersih lingkungan’ dan anak seorang yang terlibat G30S. Kakeknya adalah mantan lurah, dan kuburannya dikeramatkan menjadi tempat mencari nomor togel.

Sutarjo punya penasihat politik. Dia kerap memberikan nasihat dan strategi. Dan akhirnya sebuah nasihat dilontarkan:

“Politik itu the art of possible. Tidak harus lurus, tapi boleh bengkok-bengkok. Jangan lugu begitu. Politik itu seperti silat, balikkan kelemahan jadi kekuatan,” kata penasihat politik Sutardjo.

Maka Sutardjo menempuh jalan yang tak lazim bagi seorang warga Muhammadiyah: merenovasi kuburan kakeknya, menyalakan kemenyan, dan menabur kembang.

Dia ingin menunjukkan diri sebagai sosok yang toleran, maka digelarlah sarasehan bertema toleransi di desanya. Dia juga menggelar pengajian akbar dengan mengundang kiai dari NU.

Semua cara ditempuh. Biaya dikeluarkan. Namun akhirnya Sutardjo harus menyerah di bilik suara. Dia kalah lihai dan licin melawan pesaingnya. Sudah begitu, dia masih diomeli istrinya.

“Saya kira engka dhedhel-dhuwel luar dalam, Mas. Akhirat tidak, dunia gagal. NU bukan, Muhammadiyah mboten. Politikus bengkok-bengkok meleset, orang agama jalan lurus urung.”

Itulah politik, dan kekuatan mental politisi memang harus tangguh. Karena itu, Fahri Hamzah disebuah kesempatan pernah berucap, semua orang yang masuk dalam dunia politik harus sadar.

Dunia politik ini sebuah kompetisi. Sedari awal, semua politisi yang terjun ke dunia politik harus mempunyai kesadaran kalau politik itu banyak orang-orang jahil. Seorang politisi tidak boleh naif menanggapi isu tak sedap.

“Politik itu akan kejam dan orang saling ngerjain itu terjadi. Gak boleh naif sebagai politisi,” ucap Fahri.

Tapi tahun 1983, Iwan Fals merilis album berjudul ‘Sumbang’. Seperti biasa, album ini berisi lagu-lagu protes sosial khas Iwan yang sumpek di masa Orde Baru. Album ini juga mendefinisikan dan memandang bagaimana politik, yang boleh jadi menjadi panduan mayoritas penggemarnya.

Setan-setan politik kan datang mencekik

walau di masa paceklik tetap mencekik

Apakah selamanya politik itu kejam

Apakah selamanya dia datang untuk menghantam

Ataukah memang itu yang sudah digariskan?

Menjilat, menghasut, menindas

Memperkosa hak-hak sewajarnya

Definisi Iwan tersebut, hari ini menjadi definisi jamak semua orang yang tak terlibat di dalam urusan politik. Definisi ini menjadi ‘perlawanan’ terhadap definisi formal teoritis Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang mengartikan politik sebagai:

1. (Pengetahuan) mengenai ketatanegaraan dan kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan atau dasar pemerintahan).

2. Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain.

3. Cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah); kebijakan.

‘Das solen’, sesuatu yang semestinya menurut KKBI. Politik menyangkut pemerintahan dan kepentingan orang banyak. Namun interpretasi terhadap politik memang terbelah. Di satu sisi, politik ditafsirkan sebagai satu bentuk pertarungan memperebutkan kekuasaan.

Sehingga ini menjadi sebuah konflik laten dan terus-menerus antara satu individu dengan individu lain, satu kelompok dengan kelompok lain yang sifatnya tak stabil dan tak tetap. Dalam tafsir ini, ada adagium ‘tak ada lawan dan kawan abadi kecuali kepentingan’. Kepentingan dalam hal ini apalagi jika bukan kekuasaan.

Pandangan politik kotor sangat mungkin berasal dari tafsir ini. Mao Tse Tung mengatakan, politik adalah perang tanpa pertumpahan darah dan perang adalah politik dengan darah tertumpah. Bahkan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill punya penilaian bahwa politik lebih kejam daripada perang. “Dalam perang, Anda terbunuh sekali. Dalam politik, Anda terbunuh berkali-kali.”

Machiavelli pernah merisalahkan bahwa pemimpin yang ditakuti lebih baik daripada pemimpin yang dicintai. Rasa hormat dan keseganan seharusnya dibentuk dari rasa takut, bukan cinta. Dengan kata lain: politik itu rasional.

Petuah Machiavelli ini diyakini Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew saat masih berkuasa. “Antara dicintai dan ditakuti, saya selalu percaya Machiavelli yang benar. Jika tidak ada yang ditakuti dari saya, saya tak berarti.”

Kini perang politik sudah berakhir. Banyak dari kita mengalami kegagalan. Mungkin mati, tapi tidak selamanya, karena politik mati berkali-kali. Kini hening telah menyelimuti, para pejuang kita sudah kembali dari medan pertempuran dan membawa pulang sejuta kenangan dan pengalaman. Cukuplah kita berjuang, cukuplah kita menopang, tapi komptisi politik memang seyogyanya demikian.

Satu hal yang perlu  kita renungkan,  bahwa mereka yang meraih kemenangan hari ini, pernah mati dipertempuran sebelumnya, tapi akhirnya mereka bangkit dan kembali meraih kemenangan. Politik sedari dulu sudah begitu (***)