Tidak Kunjung Mendapat Rasa Aman

BERITABETA, Ambon – Setelah pertemuan tersebut, investigasi pun dimulai. Investigasi berlangsung selama kurang lebih tiga bulan. Tri Hayuning Tyas, Koordinator Tim Investigasi sekaligus psikolog, mengatakan ada beberapa hal yang timnya lakukan.

Perempuan yang akrab disapa Nuning ini menjelaskan bahwa mereka melihat rangkaian cerita dari berbagai perspektif baik pelaku maupun penyintas. Ia menambahkan bahwa timnya juga turut melihat seluruh rangkaian cerita yang pernah terjadi pada kehidupan kedua belah pihak.

“Kami melihat dari lokus ceritanya, jadi bukan hanya lokus kejadiannya itu saja, tetapi rangkaian cerita sampai menjadikan hal tersebut terjadi,” jelas Nuning.

Setelah proses investigasi selesai, Tim Investigasi memberikan dua jenis rekomendasi. Pertama, ditujukan bagi Agni selaku penyintas. Salah satu rekomendasi yang diberikan adalah perbaikan nilai KKN.

Nuning mengatakan bahwa Tim Investigasi berhasil mengusulkan perubahan nilai yang sesuai dengan kontribusi Agni selama KKN. Per tanggal 14 September silam, Agni mengakui bahwa nilainya kini telah menjadi A/B. Tidak hanya itu, Nuning juga mengatakan bahwa Agni berhak mendapatkan ganti rugi atas uang kuliahnya dan mendapat fasilitas konseling.

Penggantian uang kuliah didasarkan karena peristiwa tersebut mengakibatkan kurang kondusifnya perkuliahan Agni sehingga UGM perlu bertanggung jawab. Sedangkan fasilitas konseling juga bentuk tanggung jawab UGM, terlebih sebelumnya Agni menanggung sendiri semua biaya pengobatannya ke psikolog dan psikiater yang tidaklah murah.

Rekomendasi kedua menyangkut sanksi yang diberikan bagi HS. Menurut penjelasan Nuning, HS wajib memberikan surat permohonan maaf yang ditandatangani oleh orang tuanya. HS juga diharuskan mengikuti konseling selama 2-6 bulan, sampai dirasa konseling telah mencapai hasil yang diharapkan. Mengenai tuntutan Agni, Nuning menjelaskan bahwa tidak ada rubrik yang mengatur pengeluaran mahasiswa untuk kasus pelecehan seksual.

“Berbeda kalau dosen memberi mahasiswa nilai A, B, C, D, itu kan ada ada rubriknya, sedangkan ini tidak. Ini menjadi salah satu masukan dari kami,” tuturnya.

Tidak adanya panduan yang dimaksud Nuning mengacu pada Peraturan Rektor UGM No. 711/P/SK/HT/2013 tentang Tata Perilaku Mahasiswa UGM. Ada tiga tingkatan sanksi yang ditetapkan bagi mahasiswa yang melanggarnya. Sesuai Pasal 22 Ayat 1, sanksi pelanggaran atas tata perilaku tersebut terdiri dari sanksi ringan, sedang, dan berat. Sanksi ringan meliputi teguran dan pernyataan permohonan maaf (dan sejenisnya).

Sedangkan sanksi sedang adalah surat peringatan, pembatalan nilai mata kuliah tertentu atau selama satu semester, dan skorsing selama 1-2 semester berturut-turut. Sementara sanksi berat yaitu diberhentikan secara tidak hormat sebagai mahasiswa. Pada Pasal 24 dijelaskan lebih lanjut bahwa pelanggaran terhadap perilaku mengenai kesusilaan (Pasal 5 Huruf m) dikenai paling rendah sanksi ringan hingga sanksi berat. Penentuan sanksi dilakukan berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh Komite Etik. Dalam konteks kasus pelecehan, tugas dan fungsi tim investigasi sama dengan komite etik.

Menanggapi hal tersebut, Nuning mengatakan bahwa ada pertimbangan indikasi-indikasi tertentu yang didapatkan dari kumpulan cerita yang dikumpulkan selama investigasi. Menanggapi HS yang belakangan diketahui telah melakukan sidang pendadaran pada 6 Agustus 2018, Nuning mengaku bahwa HS memang boleh melakukan sidang. Namun, ia mengatakan bahwa HS tetap tidak diperkenankan yudisium sampai konselingnya dinyatakan selesai.

Nuning turut menjelaskan bahwa konseling yang wajib dilakukan HS bertujuan untuk memberikan pendampingan dan pengarahan kepada pelaku. “Fasilitas konseling ini juga diberikan kepada penyintas sebagai bentuk pemulihan psikologis atas trauma yang dialaminya,” kata Nuning.

Akhir Agustus lalu, Ika Dewi Ana selaku Warek Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat mengatakan bahwa laporan Agni telah diproses dan investigasi juga sudah dilakukan. “Sudah selesai kok, yang bermasalah juga sudah diselesaikan,” begitu jelasnya.

Sependapat dengan Ika, Erwan Agus Purwanto selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik juga mengatakan bahwa laporan yang sempat masuk kala itu telah ditindaklanjuti dan telah menghasilkan penjatuhan sanksi kepada terlapor. Erwan juga menjelaskan bahwa pihaknya terus mendampingi penyintas. “Kalau sudah dijatuhkan sanksi, kan berarti sudah selesai ya. Itu yang kasus terakhir adalah implementasi dari peraturan rektor,” kata Erwan.

Terkait pemberian sanksi untuk HS, Muhamad Wildan Waziz selaku Wakil Dekan bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Teknik mengatakan bahwa dirinya belum menerima sama sekali rekomendasi Tim Investigasi. Waziz mengaku bahwa dirinya hanya diminta untuk menahan yudisium HS. “Mungkin dikirim ke Pak Dekan dan saya belum menerima.

Menjelang Juli akhir ini saya hanya diberi pesan untuk menahan yudisium yang bersangkutan karena katanya masih dalam proses. Proses dan sanksinya seperti apa, saya tidak tahu,” jelas Waziz. Namun sayangnya, Nizam selaku Dekan Fakultas Teknik tidak merespon kami ketika hendak dimintai keterangan mengenai hal ini.

Waziz turut berpendapat bahwa terkait sanksi DO, selama hal tersebut merupakan hasil rekomendasi Tim Investigasi, ia bersedia melakukannya. Waziz pun menceritakan bahwa dirinya sering mengeluarkan mahasiswa Fakultas Teknik terkait pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, salah satunya terkait masa studi.

Menurut Waziz, Tim Investigasi memiliki kewenangan terkait pemberian sanksi. “Mereka berwenang menentukan dengan mempertimbangkan beberapa hal yang dapat memperberat atau meringankan sanksi yang bersangkutan,” kata Waziz.

Menanggapi hasil rekomendasi yang dikeluarkan oleh Tim Investigasi, Sofia Rahmawati selaku selaku Konselor Hukum Rifka Annisa yang turut menjadi pendamping penyintas menduga bahwa jalan keluar yang digunakan oleh Tim Investigasi merupakan salah satu bentuk restorative justice.

Konsep ini kerap ditemui dalam beberapa kasus hukum di mana pelaku menunjukkan iktikad baik terkait kasus yang dialaminya. Iktikad baik yang biasa muncul dalam kasus-kasus umum berupa upaya meminta maaf atau memberikan uang ganti rugi kepada pihak korban. Syarat substantif dari konsep ini adalah pelaku harus menyadari perbuatannya dan bersedia bertanggung jawab dan memperbaiki diri.

Menurut pemaparan Sofia, perlu ada indikator yang jelas mengenai iktikad baik yang dimaksud. Baginya, pelaku pada kasus apapun bisa saja bertindak seakan-akan merasa bersalah bahkan berbohong ketika dimintai keterangan. Ia turut menyayangkan tidak adanya ahli hukum dalam tim investigasi tersebut.

“Di Indonesia, proses mediasi atau konsep restorative justice untuk kasus perkosaan jarang digunakan karena kita belum siap. Lembaga-lembaga pemulihan untuk korban di sini belum bagus,” katanya.

Budi Wulandari selaku pendamping Agni dari Rifka Annisa juga menyayangkan pandangan beberapa pihak yang mulanya menilai ini bukan perkosaan. Perempuan yang kerap disapa Wulan itu menilai bahwa segala rangkaian yang dialami penyintas jelas merupakan perkosaan.

Wulan berpendapat bahwa pandangan yang kurang peka kepada penyintas membuat kasus Agni tidak diselesaikan secara serius sejak laporan pertama kali dilayangkan kepada pihak DPkM. Akibatnya, Agni harus melalui proses panjang untuk mengadvokasi dirinya sendiri.

“Kegigihannya membuat kami mau membantu dia mendapatkan hak-haknya. Terserahlah sanksinya apa yang penting ada sanksi yang tepat untuk pelaku,” jelas Wulan.

Definisi perkosaan yang dimaksud Wulan sesuai dengan yang dirilis oleh Komnas Perempuan. Dalam buklet “15 Bentuk Kekerasan Seksual” yang dirilis di laman mereka, perkosaan dapat diidentifikasi dengan adanya pemaksaan hubungan seksual dengan memakai penis, jari tangan, atau benda lainnya ke arah kemaluan, anus, atau pun mulut korban.

Tidak hanya itu, hingga berita ini diterbitkan (tiga bulan sejak Tim Investigasi menyampaikan rekomendasinya ke Rektor), penyintas mengaku belum dihubungi pihak Rektorat meski tim investigasi telah dibubarkan.

Penyintas mengatakan bahwa hasil rekomendasi yang dikeluarkan oleh Tim Investigasi diketahuinya karena ia sendiri yang datang dan bertanya. “Sempat disebutkan kalau aku mendapat layanan konseling, tapi bagaimana prosedurnya dan aku harus ke mana, aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu apakah HS sudah menjalani sanksinya atau belum,” kata Agni.

Kasus kekerasan seksual yang dialami Agni bukanlah satu-satunya perkara yang terjadi di ruang lingkup kampus. Dalam berita yang berjudul “Malang Melintang Penanganan Pelecehan Seksual di Kampus” (Majalah Balairung Edisi 54/TH. XXXIII/2018) telah disebutkan bahwa pelecehan seksual dapat terjadi di banyak lingkup kegiatan mahasiswa.

Kasus Agni, dan kasus-kasus lain di lingkungan kampus yang telah bermunculan di media sosial maupun portal berita lain ibarat puncak gunung es. Bahkan, atas peristiwa yang secara resmi telah dilaporkan seperti kasus Agni pun penyintas belum mendapatkan perlakuan yang mampu mengembalikan rasa amannya.

“Aku ingin mengusahakan apa yang bisa kuusahakan, dalam hal ini mendesak kampus untuk menanggapi kekerasan seksual dengan serius dan berpihak kepada penyintas,” jelas Agni. **

Penulis: Citra Maudy/Penyunting: Thovan Sugandi

Sumber : www.balairungpress.com/…/nalar-pincang-ugm-atas-kasus-perkosa