Kisah Wallace, Surat dari Ternate ‘Menghentak’ Charles Darwin
Kisah perjalananya di Nusantara dilakukan-nya seorang diri dari 1854 hingga 1862. Pengembaraan-nya itu kemudian dituangkan dalam bukunya ‘The Malay Archipelago’ yang pertama kali diterbitkan tahun 1869. Buku ini kemudian populer dan menjadi literatur klasik dunia yang terus dicetak ulang sampai abad ke-21 ini.
Saat berada di Ternate (Maluku Utara), Wallace juga mempelajari konsep teori evolusi, yang mencoba menerangkan mekanisme terjadinya spesies (speciation).
Hobinya berinteraksi dengan alam yang sangat tinggi keanekaragaman hayatinya, membuatnya bertanya bagaimana spesies-spesies yang beragam itu bisa terjadi.
Pertanyaan itu terus-menerus mengusiknya. Di suatu hari, di bulan Februari 1858, ketika ia sedang menderita demam malaria, di gubuk pondokannya di Pulau Ternate (Maluku Utara), tiba-tiba ia bersorak karena merasa telah menemukan jawabannya.
Mungkin seperti Archimedes yang bersorak “Eureka, Eureka” ketika masuk ke bak mandi, air melimpah keluar, yang membuatnya menemukan jawaban mengenai berat jenis.
Atau seperti Newton yang kejatuhan buah appel, yang membuatnya menemukan rumus gravitasi (gaya berat). Wallace yang belum sembuh dari demamnya, masih berselimut di tempat tidurnya, segera bangun membuat catatannya.
Ia teringat akan buku karya Thomas Malthus, Essay on Population, yang menguraikan batas-batas pertumbuhan penduduk. Dengan latar belakang itu, ia sontak menemukan jawaban kuncinya yakni survival of the fittest, hanya yang terkuat yang bisa terus hidup.
Seleksi alami (natural selection) akan terjadi. Yang lemah, yang penyakitan, yang kalah cepat, yang kalah cerdik, akan tersingkir dengan sendirinya, dan menyisakan unsur-unsur yang lebih unggul untuk diwariskan.
Dua malam ia menuliskan konsep itu yang diberinya judul On the tendency of varieties to depart indefinitely from the original type. Naskah itu kemudian segera dikirimnya ke Charles Darwin di Inggeris.
Wallace mengharapkan agar Darwin dapat membacanya dan meneruskan juga ke Charles Lyell, seorang tokoh geologi yang ternama, untuk melihat kemungkinannya untuk diterbitkan.
Tetapi surat dari Wallace itu, yang kemudian terkenal sebagai “Ternate Paper” , justru membuat Darwin tersengat bahkan bagai tersambar halilintar di siang bolong.
Masalahnya, Darwin saat itu tengah menyelesaikan bukunya yang sudah digarapnya dengan susah payah sejak hampir 20 tahun tetapi belum juga rampung. Ia sudah meramalkan bahwa bukunya nanti akan menjadi “big book” yang menggemparkan.
Itu sebabnya ia sangat terperanjat ketika mengetahui bahwa kesimpulan yang akan ditulisnya dalam bukunya itu ternyata sama dengan yang dibuat oleh Wallace, suatu kebetulan atau koinsidensi.
Meskipun keduanya tidak saling mengenal dan masing-masing bekerja terpisah dalam jarak hampir separuh keliling bumi.
Pertanyaannya adalah, bersediakah Darwin yang telah mempunyai nama besar itu tiba-tiba disalip atau didahului oleh seorang muda, Wallace, pendatang baru yang selama ini tidak dikenal dalam lingkar elit ilmuwan Inggeris, apalagi Wallace bukan pula berasal dari keluarga dengan status sosial yang terpandang?
Disini tampak ada kemungkinan “rekayasa” di kalangan para elit ilmuwan di Inggeris untuk menepikan Wallace, dan lebih dulu menyelamatkan muka Darwin.
Atas desakan kuat tokoh ilmuwan besar Charles Lyell (geologist) dan Joseph Hooker (botanist), Darwin buru- buru menyelesaikan ringkasan bukunya yang kemudian dibacakan dalam sidang yang terkenal di forum Linnaean Society di London, tanggal 1 Juli 1858.
Tanpa sepengetahuan Wallace, makalahnya yang dikenal sebagai “Ternate Paper” dibacakan juga dalam forum itu sekedar untuk melengkapi presentasi Darwin. Itu pun judulnya telah diubah tanpa sepengetahuan penulisnya.
Di lain pihak, Wallace juga tak tahu kalau “Ternate Paper”-nya sudah dibacakan dalam sidang yang sangat bergengsi di Linnaean Society, sampai beberapa bulan kemudian.
Pada hari makalahnya dibacakan di Linnaean Society di London, Wallace malah masih sedang mengejar kupu-kupu di belantara Manokwari, Papua. Setahun kemudian (1859) barulah karya monumental Darwin “The origin of species” diterbitkan.
Wallace sendiri, menyadari posisinya, tidak merasa sakit hati pada Darwin. Ia malah merasa ada hikmahnya bahwa namanya ikut terbawa oleh Darwin. Siapa pula yang akan mendengarkannya sebagai seorang pemula dalam lingkar ilmuwan, dibandingkan dengan sosok Darwin yang namanya telah benderang bagai matahari?