“Refleksi TPPO di Antara 30 Juli dan 17 Agustus 2020”

Oleh : Lusi Peilouw (Aktivis LSM dan Pemerhati Sosial)

SEJARAH peradaban dunia pernah dihiasi lembaran – lembaran suram berupa fakta-fakta perbudakan yang terjadi antar suku, raas bahkan bangsa. Selama berabad-abad, kaum tertindas berjuang menentangnya.

Solidaritas antara manusia untuk menentangnya pun terbangun kuat apalagi setelah bangsa-bangsa di dunia ini menyepakati berbagai instrumen pengakuan, penghargaan dan perlindungan Hak Asasi Manusia.

Sayangnya fakta-fakta miris itu mengikut masuk ke abad millennial ini, yakni abad modern. Artinya perbudakan itu masih terus hidup, walaupun dalam rupa yang telah banyak mengalami metamoforsa.

Salah satu bentuk perbudakan di zaman millennial ini adalah Pedagangan Manusia. Dari beberapa defenisi tentang Perdagangan Manusia, perdagangan manusia dapat diartikan sebagai tindakan transaksi jual-beli diri, tubuh atau organ tubuh manusia secara terpaksa, sepihak dan/ataupun ekspliotatif sehingga hilang harkat dan martabat sebagai manusia. Sebagian orang menamainya perbudakan modern atau modern slavery.

PBB melalui UNODC (UN Office on Drugs and Crime), yakni salah satu entitas PBB yang bekerja untuk pencegahan, perlindungan korban  perdagangan manusia juga menuntut pelaku perdagangan manusia yang melakukan pelanggaran HAM berat), sejak 2013, membangun komitmen bangsa-bangsa untuk memerangi tindakan-tindakan Perdagangan manusia. Tanggal 30 Juli kemudian dideklarasikan sebagai  hari dunia menentang perdagangan orang World Day Against Trafficking in Person.

Penetapan momentum peringatan ini dimaksudkan untuk mengedukasi masyarakat dunia untuk memiliki kepedulian terhadap para korban perdagangan manusia; menggerakan keberpihakan politik pemimpin bangsa-bangsa untuk mencegah impunitas pelaku dan memberikan perlindungan hak-hak korban; dan merayakan serta terus mendorong kemajuan dalam.

Selama 2 tahun terakhir ini UNODC melaporkan gambaran yang memilukan tentang situasi perempuan dan anak sebagai kelompok yang banyak menjadi korban kejahatan perdagangan manusia. Di tahun 2018, dilaporkan bahwa sepertiga dari korban perdagangan manusia adalah anak-anak.

Ini kemudian mendorong PBB menyerukan perubahan untuk mengakhiri impunitas  pelaku perdagangan orang terutama remaja dan anak-anak. Di tahun berikutnya, 2019, dilaporkan bahwa korban perdagangan manusia terbesar adalah perempuan dan anak perempuan, dimana mereka menjadi korban eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan hutang dan kerja-kerja illegal.

Enam tahun sebelum 30 Juli ditetapkannya sebagai momentum penting bagi dunia dalam memerangi kejahatan perdagangan manusia, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan regulasi untuk isu ini. Kita punya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO).

Di tingkat Kementerian dan Lembaga Lembaga pun ada berbagai aturan yang dibuat untuk mendorong pencegahan berjatuhannya korban dan mencegah impunitas pelaku TPPO. Jadi, dalam hal upaya memproduksi regulasi kita terbilang cukup progresif.  Namun, masih sangat tertinggal dalam hal menjalankan regulasi-regulasi itu.

Lihat saja apa yang terjadi di Maluku. Gerakan Perempuan Maluku mencatat bahwa setiap tahunnya ada saja kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang yang mencuat ke publik dan diadvokasi. September 2019, kasus “penyekapan” pramuria di salah satu café besar di Kabupaten Kepulauan Aru, menguak fakta adanya perdagangan orang antar pulau di Indonesia.

Dari cerita riwayat perjalanan pekerja yang sudah berhasil keluar dari sana, kami mendapatkan gambaran rapinya pola transaksi jual-beli manusia dilakukan, mulai dari rekruitmen hingga pengiriman dengan tujuan akhir Maluku. Jangan dikira biaya rekruitmen dan pengiriman itu menjadi tanggungjawab person dan perusahan terkait.

Pekerja sendirilah yang mesti membayar ke trafficker atau orang yang menjual (merekruit). Mula-mula perusahaan tempat bekerja yang membayarkan ke trafficker, kemudian dianggap sebagai piutang bagi pekerja. Dengan kata lain pekerja berutang bagi perusahaan dan harus membayarnya selama bekerja.

Beberapa pekerja yang pernah kami temui menceritakan bahwa selama berbulan-bulan mereka bekerja hanya untuk membayar hutang dan sulit menyisihkan untuk keperluan membantu keluarga yang ditinggal di tempat asal.

Belum lagi aturan-aturan perusahaan yang dibuat menjebak dan menindas pekerja secara tidak manusiawi. Pekerja sendiri, karena tuntutan ekonomi keluarga di kampung asal, tidak punya pilihan selain terus bekerja.