Untuk mengejar bisa cepat menyelesaikan hutang ke perusahaan dan terus dapat memenuhi tuntutan ekonomi keluarga, mereka membuka diri untuk prostitusi karena bayarannya lebih besar dibandingkan upah pramusaji. Muncul di sini realita prostitusi terselubung.

Mengapa terselubung? Karena aktivitas prostitusi itu bukan bidang usaha café atau karaoke dan juga tidak tercantum di dalam kontrak kerja antara perusahaan dengan pekerja. Pekerjaan sebagai pramusaji café dan karaoke melebar begitu saja ke prostusi illegal, dengan aturan yang mengikat. Misalnya ketika dibooking atau dibawa ke hotel, pekerja diantar-jemput sesuai jam yang ditentukan, dan tidak diperbolehkan membawa handphone agar tidak dapat berkomunikasi dengan siapapun.

Itulah yang dilakukan untuk dapat bertahan dan menghidupkan keluarga di tempat asal. Andai negara ini bisa memberikan jaminan sosial ataupun mekanisme pemberdayaan yang lain, mereka tidak mungkin terperangkap dalam lingkaran setan TPPO dan Prostitusi illegal sedemikian.

Selain prostitusi illegal, kasus TPPO yang pernah kami jumpai bersinggungan pula dengan urusan administrasi kependudukan. Ini lebih jahat lagi, karena menyembunyikan secara sistimik keterlibatan perempuan usia anak di dalam mafia kejahatan ini, dan sepertinya sudah menjadi modus yang umum di dunia Perdagangan Manusia.

Dalam pengalaman banyak pekerja yang pernah ditemui, mereka merasakan adanya penindasan atas diri dan hidup mereka namun banyak dari mereka tidak mengetahui bahwa hal itu merupakan pelanggaran Hak Asasi mereka sebagai manusia.

Sampai di titik ini, saya ingin mempertanyakan komitmen dan kehadiran negara sebagai pihak yang memegang kewajiban melindungi dan memenuhi HAM seluruh rakyat tanpa pengecualian. Ada Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO yang dibentuk dari pusat sampai daerah. Artinya di Maluku juga ada Gugus Tugas ini.

Saya pun pernah memfasilitasi workshop Penyusunan Rencana Aksi Daerah Pencegahan  dan Penanganan TPPO Provinsi Maluku yang melibatkan berbagai pihak dengan hasil draft Rencana Aksi Daerah tahun 2017 lalu. Entah apakabar implementasinya setelah itu. Mungkin terlalu banyak yang diurus yah, sehingga tidak bisa fokus untuk menuntaskan pekerjaan secara maksimal.

Hari ini, 30 Juli adalah momentum yang tepat untuk kami mempertanyakan dan menggugah Pemerintah Daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Ada banyak kasus TPPO dan rangkaiannya di daerah ini, bahkan saat ini pun ada kasus yang sedang ditangani oleh P2TP2A Provinsi Maluku. Penanganannya kian menantang dalam kondisi pandemi saat ini.

Pemerintah perlu membenahi komitmen yang sudah dibangun. Kebijakan-kebijakan perlindunga perempuan dan anak perlu ditinjau, sudahkah menyentuk kebutuhan perlindungan korban TPPO. Aktifkan Gugus Tugas TPPO Provinsi. Rencana Aksi Daerah, kalaupun pernah dibuat, sekarang perlu direview untuk disesuaikan dengan konteks saat ini. Jangan sampai Maluku (Indonesia) terus menyumbang kasus Perdagangan Manusia ke dunia.

Sebentar lagi Indonesia merayakan 75 tahun memproklamasikan kemerdekaan. Adalah miris jika di balik euphoria 75 tahun ini, ternyata masih ada fakta-fakta masih terjajahnya perempuan Indonesia di Maluku dalam belenggu Kejahatan Perdagangan Manusia lintas provinsi.

Jika negara tidak memotongnya, maka negara terus membiarkan warga bangsa ini saling menjajah. Yang berkuasa menjajah, yang terpuruk secara sosial dan ekonomi terjajah. Artinya tidak pernah ada kemerdekaan (***)