Dampaknya terasa bahkan sebelum akuisisi rampung. Dunia hiburan dan berita kini hidup di bawah gravitasi raksasa teknologi. Perusahaan media klasik, yang dulu berkompetisi dengan idealisme dan reputasi, kini tak ubahnya subsistem di bawah infrastruktur data.

Ketika algoritma menjadi redaktur, konten diukur bukan dari kebenaran, tapi dari daya tular. Politik pun menyesuaikan diri; keputusan diambil bukan berdasar nalar publik, tapi ritme trending topic. Demokrasi melambat, sementara persepsi bergerak secepat scroll di layar.

Namun sejarah selalu menyimpan ironi. Setiap konsentrasi kekuasaan melahirkan antitesisnya. Uni Eropa menggencarkan regulasi digital, India menutup TikTok, negara-negara Afrika dan Asia mulai bicara soal kedaulatan data. Bahkan di Amerika, sebagian senator memperingatkan bahaya oligarki media-AI. Tapi resistensi itu masih sporadis.

Dunia belum menemukan mekanisme yang benar-benar mampu menandingi kekuatan kapital yang menyaru sebagai konektivitas.

Indonesia berdiri di tengah pusaran ini. Bukan sebagai pemain utama, melainkan medan pengaruh.

Sebagian besar interaksi warganya terjadi di platform asing yang algoritmanya dirancang jauh di luar negeri. Ketika perang data antarblok terjadi, kita hanya menjadi koloni digital: penyumbang perhatian, bukan pemilik sistem. Namun di balik kerentanan itu, tersimpan peluang.

Justru di saat globalisasi informasi terasa menyesakkan, media lokal yang berakar pada kepercayaan dan kedekatan bisa menjadi penyeimbang moral ekosistem global.