Law Enforcement Terhadap Terdakwa Korupsi Bansos Covid-19

Oleh : Imanuel R. Balak, S.H. (Mahasiswa Magister Hukum Litigasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
Ada beberapa kejanggalan yang menjadi patut dipertanyakan kedapa Jaksa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atas tuntutan hukum terhadap terdakwa eks Menteri Sosisal Juliari Peter Batubara atas dugaan Korupsi Pengadaan Paket Bantuan Sosial Corona Virus Disease (Covid-19) wilayah Jabodetabek.
Tentu sangat familiar sejak bergulirnya kasus tersebut, menyita banyak perhatian dari Lembaga – lembaga Anti Korupsi, Akademisi, Mahasiswa, bahkan Masyarakat Indonesia pada umumnya, yang memberikan dukungan penuh kepada Lembaga Anti Rasuah itu untuk melakukan proses hukum yang adil terhdap eks Menteri Sosial Juliari Peter Batubara.
Sangat disayangkan tuntutan yang dilayangkan jaksa Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap kasus tersebut. Pasalnya, dalam tuntutannya jaksa hanya menuntut eks Mensos dengan hukuman 11 tahun penjara.
Hal ini kemudian menjadi perbincangan serius di kalangan penegak hukum, akademisi, mahasiswa bahkan sampai pada masyarakat umum. Sementara jaksa sendiri meyakini bahwa Juliari melakukan korupsi sebesar Rp. 32,48 Miliar dari Pengadaan Paket Bantuan Sosial tersebut. Lantas jika sudah diyakini maka apa lagi yang harus diragukan oleh Jaksa? Padahal kerugian tersebut sangatlah fantastis nilainya.
Mari kita gambarkan beberapa dasar hukum yang digunakan jaksa dalam tuntutunnya, yakni Pasal 12 huruf (b) jo Pasal 18 UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 jo Pasal 64 ayat 1 (KUHP).
Demikian beberapa dasar hukum yang digunakan jaksa dalam tuntutannya terhadap eks Mensos Juliari Peter Batubara.
Perlu penulis tegaskan bahwa dalam Pasal 12 tersebut mengenal adanya hukuman seumur hidup, namun tuntutan jaksa jauh dari substansi pasal dimaksud. Lantas pertanyaannya jaksa memilih hukum ditegakan seadilnya?, atau memilih kasih sayang? Jika memang kasih sayang yang dipilih, maka kuburlah hukum itu di dalam tanah dan jangan pernah biarkan keadilan itu muncul dalam masyarakat.
Perlu diketahui bahwa apa yang dilakukan oleh Juliari Batubara dan beberapa anak buahnya, dilakukan dalam situasi yang begitu memprihatinkan.
Perbuatan itu dilakukan pada saat ada bencana alam yang sudah seharusnya mengandung pemberatan secara pidana karena korupsi tersebut dilakukan pada saat Negara lagi tercabik-cabik perekonomian-nya akibat dari serangan Covid-19, melihat hal itu, mestinya adanya pemberatan pidana.
Bagi penulis, akan lebih tepat dan terlihat akuntabel jika tuntutan jaksa adalah seumur hidup. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi.
Sebuah ketegasan penulis bahwa pada perbuatan ini harusnya ada pemberatan. Pemberatan tersebut pada esensinya meliputi dua hal prinsip.
Pertama, perbuatan itu dilakukan pada saat Negara dilanda bencana akibat pandemi Covid-19. Kedua, perbuatan tersebut dilakukan dalam jabatan sebagai Pejabat Negara. Dua hal tersebut secara expressiv verbis jelas, Bestandeel Delichtennya terpenuhi.
Yang diharapkan masyarakat terhadap proses ini adalah hukuman seberatnya, bahkan sempat ramai terhadap kasus ini diterapkannya hukuman mati.

Artinya yang terlintas di benak masyarakat Indonesia saat ini adalah hukuman mati atau seumur hidup. Namun ketika melihat tuntutan jaksa hanya 11 tahun, walaupun ada juga dendanya, namun hal tuntutan tersebut begitu jauh dari nalar masyarakat. Termasuk penulis pun merasa sangat terkejut mendengar tuntutan jaksa terhadap terdakwa Juliari Peter Batubara.
Jika memang norma yang digunakan adalah pasal 12 UU No 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi, lantas pertanyaannya mengapa tidak dituntut hukuman seumur hidup? Sementara pasal a quo meenghendaki adanya hukuman seumur hidup.
Kelihatannya mudah sekali tuntutan jaksa terhadap perkara tersebut. Ini adalah pilihan kasih sayang atau penegakan hukum yang bermartabat ? Penulis tegaskan bahwa perbuatan keji ini harus dituntut seberat – beratnya terlepas dari nanti fakta persidangannya seperti apa, tapi jika dilihat dalam konteks teori maka ini jelas adanya kesejangaan Opzet.
Adapun kesengajaan yang dimaksud penulis adalah “Kesengajaan Sebagai Maksud” Opzet als oogmerk, artinya antara motivasi pelaku untuk melakukan perbuatan, tindakan dan serta akibatnya adalah benar-benar terwujud.
Perlu kita ketahui bahwa yang disyaratkan dalam kesengajaan itu adalah meliputi dua hal Wetten and Willen (Mengetahui dan Menghendaki).
Jika dikaitkan pada korupsi yang melibatkan eks Mensos tersebut, maka ketika menerima uang suap tersebut adalah pelaku mengetahui perbuatan dan akibatnya, namun pelaku mengendaki hal itu terjadi. Selanjutnya jika tidak dikehendaki mana mungkin perbuatan keji ini terjadi. Artinya rujukan kita sangatlah jelas.
Penulis ingin mengatakan bahwa jika perbuatan tersebut tidak ditahan KPK maka mungkin saat ini masih berlanjut sampai seluruh Bansos dimakan oleh mereka-mereka yang tidak bertanggungjawab.
Salah satu postulat dalam Hukum Pidana yaitu ‘Animus homis est anima scipti’ yang mengandung arti “Kesengajaan seseorang adalah merupakan inti dari perbuatan”.
Mengakhiri tulisan ini, penulis ingin menyampaikan dua hal. Pertama, penulis tidak sejalan dengan tuntutan jaksa terhadap Juliari Peter Batu Bara. Kedua, penegakan hukum terhadap para koruptor harus benar-benar totalitas (Law and Justice) (*)