BERITABETA, Ambon – Pusat Unggulan Iptek Konservasi Sumber Daya Tuna (PUI KST) Pusat Penelitian Laut Dalam – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2LD-LIPI), Senin, membahas pengelolaan sumber daya perikanan tuna di Laut Banda.

Pembahasan yang dibuat dalam bentuk dikusi kelompok terarah (FGD) dengan peserta dari berbagai instasi pemerintah, universitas dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) itu juga mengkaji kebijakan dan regulasi mengenai penegakan peraturan perikanan tangkap tuna di Laut Banda.

Digelar di Aula Bubara, P2LD-LIPI Ambon, Provinsi Maluku, FGD bertajuk “Pengelolaan Perikanan Tuna di Laut Banda” itu menjadi langkah awal bagi PUI KST untuk melakukan pengkajian lanjutan yang berkaitan dengan sumber daya tuna dan dampaknya terhadap perekonomian nelayan.

Dalam kesempatan itu, Kepala P2LD-LIPI Augy Syahailatua mengatakan permasalahan penangkapan tuna dan upaya konservasi membutuhkan perhatian, kolaborasi dan kerja sama semua pihak, tidak hanya pemegang kebijakan.

Penegakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 4 Tahun 2015 tentang Larangan Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 714, masih dihadapkan dengan masalah belum cukupnya data yang menjadi landasan hukum bagi penutupan wilayah Laut Banda.

LIPI, kata Augy, telah melakukan penelitian mengenai tuna secara intensif sejak tahun 1970-an, tetapi karena kemudian fokus riset mengalami perubahan, penelitian tersebut tidak lagi menjadi topik utama.

Sejak PUI KST yang didirikan pada 2017, LIPI kembali memusatkan perhatiannya pada riset terkait sumber daya tuna.

Melalui PUI KST, ada beberapa hal yang ingin dicapai oleh LIPI, di antaranya adalah mengetahui memetakan wilayah dan waktu pemijahan tuna di sekitar perairan Laut Banda, dan mengungkap bagaimana hubungan awal tuna dengan lingkungannya, sehingga dapat dipastikan lokasi dan waktu penutupan perairan WPP 714.

Saat ini, Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) sedang melakukan sertifikasi nelayan di perairan Maluku, dan mengumpulkan data tangkapan yang tercatat sudah berjumlah 17.000 ekor. Data tersebut akan dianalisis oleh peneliti LIPI.

“Fokus riset berubah, maka penelitian ini tidak dijadikan penelitian utama. Namun sejak PUI KST didirikan tahun 2017, penelitian mengenai perikanan tuna mulai difokuskan kembali dalam satu tahun terakhir,” kata Augy.

Mengatasi permasalahan kurangnya data perikanan tuna di Maluku, Atswin, perwakilan dari Badan Bantuan Pembangunan International Amerika Serikat (United States Agency for International Development – USAID) menyarankan agar pemerintah daerah membuat satu sistem data.

“Pengawasannya bisa menggunakan data pelayaran kapal yang bersumber dari `Global Fishing Watch`, selanjutnya perlu ditingkatkan pencatatan kapal dengan skala kecil,” ucap Atswin.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Maluku, Romelus Far-far menjelaskan Permen KP Nomor 4 Tahun 2015 hanya mengatur wilayah di atas 12 mil laut dengan sasaran kapal di atas 30 GT, tetapi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mewajibkan pemerintah daerah menyusun Peraturan Daerah (Perda) terkait.

Pemerintah Provinsi Maluku, kata dia, sudah menerbitkan Perda Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Maluku tahun 2018-2038. Peraturan tersebut mengatur wilayah yang merupakan kewenangan pemerintah pusat dan daerah. (BB/DP)