Di tengah kerusakan itu, saya percaya harapan tetap ada—salah satunya dari kearifan lokal. Masyarakat adat di Maluku memiliki tradisi bernama 'Sasi', yaitu sistem pengelolaan sumber daya alam yang melarang pengambilan hasil laut atau hasil hutan di waktu-waktu tertentu, agar alam bisa memulihkan diri.

'Sasi' bukan hanya hukum adat, tapi juga sistem konservasi yang berbasis pada etika dan spiritualitas.

Ia adalah bukti bahwa masyarakat kita sejak lama memiliki cara pandang yang ekologis, jauh sebelum hadirnya konsep-konsep modern tentang konservasi.

Sebagai anggota Komisi IV DPR RI yang membidangi sektor pertanian, kehutanan dan kelautan, dan periode lalu juga sektor lingkungan, saya terus memperjuangkan agar pendekatan lokal seperti ini tidak diabaikan dalam proses penyusunan kebijakan nasional.

Kearifan masyarakat daerah harus dilibatkan, bukan dimarjinalkan. Solusi bagi krisis lingkungan tidak selalu datang dari teknologi tinggi, tapi bisa berasal dari pengetahuan lokal yang terbukti menjaga harmoni dengan alam selama ratusan tahun.

Di parlemen, kami terus mengawal kebijakan yang mendukung perlindungan lingkungan. Namun saya harus jujur, bahwa peraturan saja tidak cukup jika implementasinya lemah.

Banyak daerah yang menghadapi kesulitan dalam menjalankan program konservasi karena minimnya dukungan anggaran, lemahnya pengawasan dan kurangnya tenaga teknis. Padahal, bumi tidak bisa menunggu. Kita harus segera memperkuat kelembagaan, memperluas pendidikan lingkungan dan memastikan masyarakat menjadi aktor utama dalam penjagaan ekosistem di sekitarnya.

Pendidikan ekologis adalah kunci. Anak-anak Indonesia harus diajarkan sejak dini untuk mengenal dan mencintai bumi. Mereka perlu tahu dari mana asal air yang mereka minum, bagaimana sampah berdampak pada laut dan mengapa menjaga hutan adalah menjaga kehidupan itu sendiri.

Cinta tanah air harus diwujudkan secara nyata dalam tindakan mencintai tanah dan segala makhluk yang hidup di atasnya.