Oleh : Saadiah Uluputty (Anggota Komisi IV DPR RI, Dapil Maluku)

Setiap tanggal 22 April, dunia memperingati Hari Bumi. Bukanlah sekadar perayaan tahunan yang penuh seremoni simbolik, tetapi menjadi pengingat mendalam bahwa bumi adalah satu-satunya rumah yang kita miliki.

Sebagai manusia, kita memiliki tanggungjawab yang tidak bisa ditangguhkan lagi—yaitu menjaga bumi sebagai sumber kehidupan, bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

Bagi saya pribadi, yang lahir dan tumbuh di tanah kepulauan Maluku, relasi dengan bumi bukan sekadar wacana akademik.

Di wilayah timur Indonesia ini, suara bumi terdengar nyata. Ia hidup dalam semilir angin laut, dalam tegaknya pohon sagu, dalam aliran air sungai yang jernih dan dalam nyanyian adat masyarakat yang sejak lama hidup berdampingan dengan alam.

Di Maluku, bumi bukan benda mati. Ia disapa, dihormati dan dijaga dengan cara yang sangat manusiawi. Namun kini, bumi di banyak tempat mulai menangis dalam diam.

Indonesia yang kaya akan keanekaragaman hayati sedang menghadapi tantangan berat: deforestasi, abrasi, polusi laut, krisis air bersih, hingga dampak perubahan iklim yang kian terasa. Di Maluku, banyak pulau kecil kini terancam tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Nelayan tradisional makin kesulitan menangkap ikan karena rusaknya ekosistem laut.

Hutan-hutan yang dulunya rimbun dan sakral, kini tergeser oleh pertambangan atau pembukaan lahan yang tak terkendali.

Sayangnya, pembangunan sering kali tidak mendengar jeritan bumi. Atas nama pertumbuhan ekonomi, kita memaklumi penggundulan hutan, pencemaran sungai dan perusakan pesisir. Padahal, pembangunan yang mengabaikan keseimbangan ekologi hanya akan mempercepat kehancuran yang kita ciptakan sendiri.

Kita lupa bahwa bumi memberi tanpa pamrih, namun ia pun memiliki batas kesabaran.