Pemerintah Indonesia tak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ucapan selamat dan pengakuan kemerdekaan Indonesia yang dikirimkan Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Ben Gurion tak pernah ditanggapi serius pemerintah Indonesia.

Mohammad Hatta hanya mengucapkan terimakasih, namun tak menawarkan timbal-balik dalam hal pengakuan diplomatik. Sukarno juga tak menanggapi telegram ucapan selamat dari Israel.

Sewaktu Sukarno mulai menggagas Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1953, Indonesia dan Pakistan menolak keras diikutsertakannya Israel dalam konferensi tersebut. Keikutsertaan Israel dinilai menyinggung perasaan bangsa Arab, yang kala itu masih berjuang memerdekakan diri.

Sementara Israel adalah bagian dari imperialis yang hendak dienyahkan Sukarno dan pemimpin-pemimpin dunia ketiga lainnya.

Seperti dikutip historia.id, dalam pidato pembukannya di KAA pada 1955 yang juga dihadiri pejuang Palestina Yasser Arafat, Sukarno menyatakan bahwa kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, dan seterusnya.

Ali Sastroamidjojo dalam tulisannya ‘Tonggak-Tonggak di Perjalananku,’ menyebutkan  Bung Karno mengajak supaya bangsa-bangsa Asia dan Afrika di dalam Konperensi ini membentuk satu front anti-kolonialisme dengan membangun dan memupuk solidaritas Asia-Afrika.

“Imperialisme yang pada hakikatnya internasional hanya dapat dikalahkan dan ditundukkan dengan penggabungan tenaga antiimperialisme yang internasional juga,” ujar Sukarno dalam pidato hari ulang tahun Republik Indonesia ke-21 pada 17 Agustus 1966, sebagaimana dimuat dalam Revolusi Belum Selesai.

Sukarno makin keras mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Hal itu dia lakukan dengan berbagai cara, tak terkecuali melalui olahraga.

Maulwi Saelan, pengawal Sukarno, masih ingat betul pengalamannya tatkala sepakbola menjadi salah satu alat perjuangan Indonesia di pentas politik internasional.

Pada 1958 Indonesia tinggal selangkah lagi masuk ke ajang Piala Dunia. Di penyisihan wilayah Asia Timur, Indonesia berhasil menundukkan Tiongkok. Indonesia tinggal memainkan pertandingan penentuan melawan Israel sebagai juara di wilayah Asia Barat. Namun, Sukarno melarangnya.

“Itu sama saja mengakui Israel,” ujar Maulwi menirukan omongan Sukarno, kepada Historia.

“Ya, kita nurut. Nggak jadi berangkat,” lanjut mantan penjaga gawang tim nasional yang pernah membawa Indonesia menahan imbang Uni Soviet dalam Olimpiade Melbourne 1956.

Perlawanan terhadap Israel kembali dilakukan oleh Sukarno ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962. Pemerintah Indonesia tak memberikan visa kepada kontingen Israel dan Taiwan.

Meski alasan resmi yang dikeluarkan adalah, Indonesia tak mempunyai hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut, tapi alasan politik antiimperialisme Sukarno mendasari kebijakan tersebut.

Saat itu, negara-negara Arab sedang bersengketa dengan Israel yang ditopang Barat. Sedangkan China dikucilkan dunia internasional setelah Barat hanya mengakui Taiwan sebagai pemerintahan China yang sah.

Sukarno melihat hal ini sebagai bentuk penindasan negara-negara Old Established Forces (Oldefos) terhadap New Emerging Forces (Nefos). Akibatnya, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menskors keanggotaan Indonesia dengan batas waktu yang tak ditentukan.