Catatan : Mary Toekan Vermeer      

Tidak sedikit sejarah negeriku ditulis dari  geladak kapal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), lalu diterbangkan ke setiap jendela - jendela pendidikan di Nusantara.

Maka tak heran, disematkan hari - hari bersejarah dari kacamata mereka. Tak ada yang salah dengan hari Kartini sehari lalu. Bahwa perjuangan Kartini perlu di apresiasi. Ide - ide Kartini dianggap melampaui pemikiran perempuan Indonesia ‘waktu itu’.

Surat - suratnya yang dikirim kepada sahabatnya Nyonya Abendanon, isteri dari Jacques Henrij Abendanon, seorang Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda tahun 1900-1905 ini, lalu dibukukan dan diberi judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’.

Tuan Abendanon ditugaskan Kerajaan Belanda tahun 1900 untuk mensukseskan politik etis di Nusantara. Jadilah Kartini disematkan sebagai ikon, seorang perempuan hebat, pembuka emansipasi wanita di negeriku.

Kisah Kartini putri seorang bangsawan Jawa dimulai akhir abad ke- 19 sampai awal abad ke- 20 Masehi. Beliau sempat mengusulkan kepada Kyai Sholeh Darat dari Semarang untuk menerjemahkan Al - Qur'an ke dalam bahasa Jawa. Di usia yang terbilang muda, Kartini menutup usia di tahun ke 25 umurnya.

Di negeri Serambi Mekkah, jauh sebelum kisah Kartini sang putri bangsawan, tersebutlah putri seorang Sultan dari Kesultanan Aceh yang menjadi pusat perdagangan dan ilmu pengetahuan. Negeri pelataran Mekkah itu mencapai kejayaannya di era ayah sang putri ini. Sultan Iskandar Muda.

Dalam buku ‘Jejak Sultanah Safiatuddin karya Zulfata’ (2015), sebagai anak sultan, sejak usia 7 tahun si putri kecil sudah dijejali berbagai ilmu. Sejumlah ulama - ulama di Aceh menjadi guru sang putri.

Sang putri yang haus ilmu ini menjelma menjadi Ratu Aceh pada 15 Februari 1641 menggantikan suaminya Sultan Iskandar Tsani yang wafat.

Ratu Safiatuddin. Di zaman kekuasaannya, Aceh bertabur cahaya. Banyak ulama dan cendekiawan lahir dari rahim Kesultanan ini.

Sang Ratu sendiri menguasai berbagai ilmu. Ilmu politik, fiqih, logika, sejarah, falsafah, tasawuf dan sastra. Beliau fasih berbahasa Arab, Persia dan Spanyol.

Cerita kehebatan pendidikan di negeri Darussalam, dibawah kepemimpinan seorang perempuan sudah tercatat 200 tahun sebelum kehadiran ibu kita Kartini yang sungguh besar cita - citanya.

Negeri di ujung Nusantara ini, bukan saja melahirkan sang Ratu yang pintar. Aceh menyimpan gemilang prestasi kaum perempuan. Ada muslimah legendaris bernama Tjut Nya' Dien (1848-1908). Kisah kepahlawanan yang sangat mengagumkan.

Seorang pemimpin perang gerilya di hutan - hutan dan tak pernah bertekuk lutut di kaki para penjajah. Sumedang menjadi tempat pengasingan beliau. Oleh Belanda beliau dibuang agar tak ada lagi komunikasi dengan pejuang Aceh.

Di pengasingan ini, masyarakat menyapanya dengan hormat sebagai Ibu Prabu. Hebatnya,  di tanah kelahirannya beliau bertaruh nyawa, sedang di pengasingan beliau sebarkan cahaya Islam dengan mengajarkan membaca Al - Qur'an dan bahasa Arab di masyarakat Sumedang hingga beliau menghadap RabbNya di usia 59 tahun.

Pada abad ke- 16, Aceh pertama kali melantik seorang muslimah menjadi Laksamana, lulusan Akademi Angkatan Laut Baitul Maqdis Aceh. Laksamana Malahayati, adalah produk unggul pendidikan Islam Aceh.

Kemampuannya dalam berdiplomasi, mampu menekan pihak Belanda Laksamana Jacob Van Neck untuk membayar ganti rugi sebesar 50 ribu Gulden atas  kapal - kapal Aceh yang dibajak oleh Van Caerden.

Kepiawaiannya dalam kepemimpinan mengantarnya ke kursi panglima armada perang Aceh. Juni 1599, terjadi pertempuran sengit  saat kapal Cornelus de Houtman dan Frederijk de Houtman membuang sauh di pelabuhan Aceh.

Perang berkobar di Bandar Aceh. Malahayati dan pasukannya merangsek membentur pertahanan musuh. Di geladak kapal Van Leeuw, wonder woman ini berhadapan langsung dengan pemimpin pasukan.

Duel satu lawan satu tak terhindar lagi. Cornelius de Houtman tewas di ujung rencong Malahayati. Ma sha Allah...bagaimana mungkin seorang muslimah mampu mengalahkan pasukan pemenang perang dunia ke dua itu ?

Rasanya tak adil jika kita hanya diperkenalkan dengan Kartini saja. Masih banyak perempuan - perempuan Indonesia yang jauh lebih unggul dari ibu kita Kartini. Dan mereka ini sengaja namanya ditiupkan melayang dari bumi negeriku.

Allahummaghfirlahum warhamhum wa'aafihim wa'fu 'anhum. Wallahu a'lam bishowab (***)

Geldrop, 10 Ramadhan 1442 H.