Oleh: Surya Ramadhana, SST (Statistisi BPS Kabupaten Buru Selatan)

DUA bulan sudah pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Banyak hal yang terdampak pandemi ini. Total sudah ada 23.851 orang yang sudah terjangkiti virus ini dan 1.473 diantaranya meninggal dunia (data per 27 Mei).

Kesehatan sedang berada di masa kritisnya. Sementara itu ekonomi sudah pasti terdampak dikarenakan pembatasan sosial guna mencegah pandemi ini. Persoalan mana yang akan diselamatkan antara kesehatan dan ekonomi muncul ke permukaan. Banyak media membahas “Ekonomi versus Kesehatan”. Namun yang sering luput dari perhatian khalayak ramai adalah tentang menyelamatkan pendidikan.

Sejak aturan pembatasa sosial diterapkan awal Maret lalu, para siswa di rumahkan. Mereka secara tiba-tiba beralih pembalajarannya melalui media daring, Kemendikbud menyebutnya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Siswa belajar melalui gawai dengan mengakses beberapa aplikasi pembelajarannya yang memang sudah eksis sebelumnya. Namun, karena peralihan metode pembelajaran ini terlalui mendadak, tak semua siswa dapat beradaptasi. Persoalan bertambah ketika fasilitas dan infrastruktur internet di suatu daerah tidak memadai seperti yang terjadi di Provinsi Maluku.

Berdasarkan data BPS Provinsi Maluku, penduduk yang mengakses internet hanya 34 persen. Desa yang memiliki akses internet 4G pun masih minim hanya sebesar 11 persen (Podes, 2018). Itupun beberapa daerah hanya mengandalkan akses internet di kantor desa dengan listrik yang menyala 12 jam. Persoalan geografi kepulauan menambah masalah dalam mengakses internet.

Dengan asumsi wajib belajar 12 tahun maka sebanyak 454.256 siswa Maluku ‘terdampak’ dalam sistem PJJ. Pelajar-pelajar tersebutlah yang akan menjadi SDM masa depan Maluku. Pilu rasanya jika tanpa pandemi saja akses pendidikan di Maluku sudah sulit apalagi semasa pandemi seperti sekarang ini.

PJJ lebih cocok diterapkan di daerah kota yang memiliki internet cepat dan kesadaran siswa yang bagus. Harus diakui Maluku belum siap menerapkan PJJ secara utuh karena kondisi geografi yang beragam. Sistem yang menuntun kesadaran tinggi siswa ini sebenarnya juga perlu pengawasan orang tua.

Para orang tua dituntut untuk menjadi guru di rumah bagi anaknya. Kapasitas orang tua dalam menjadi mentor pembelajaran sangat menentukan dalam keberhasilan sistem PJJ. Namun lagi-lagi tidak semua orang tua mempunyai waktu dan kapasitas tersebut.

BPS Maluku menyebutkan bahwa 27 persen angkatan kerja berpindidikan Sekolah Dasar dan 28 persen penduduk yang pekerjaannya mengurus rumah tangga juga berpendidikan SD. Dapat diasumsikan sekitar 27 persen kepala rumah tangga dan istrinya berpendidikan rendah.

Apalagi, mayoritas penduduk bekerja di sektor pertanian dan perikanan (34%) dan berada di garis kemiskinan. Itu artinya mereka harus bekerja di luar rumah untuk bertahan hidup. Faktor latar belakang pendidikan dan pekerjaan membuat para orang tua tersebut tak sempat dan tak mampu mendampingi anaknya dalam sistem PJJ.

Seakan dua bulan ini pendidikan Maluku jalan di tempat. Siswa hanya diberikan tugas sekadarnya, bahkan beberapa tugas diluar kemampuan siswa karena belum pernah diajarkan sebelumnya. Rencananya pekan depan ujian kenaikan kelas dilaksanakan, kemudian siswa ‘kembali’ diliburkan.

Menteri Pendidik Mas Nadiem Makarim memang masih belum membuka sekolah. Keputusan tersebut masih menunggu pertimbangan Tim Gugus Tugas Covid-19. Jika pandemi ini masih belum membaik entah sampai kapan PJJ terus diterapkan. Skenario kenormalan baru pun tak serta merta dapat diterapkan semua sekolah, karena sekolah harus menyediakan banyak wastafel, menyemprotkan disinfektan secara periodik, membatasi interaksi siswa, dan lain sebagaimana.

Pendidikan Maluku seakan mengalami pukulan bertubi-tubi. Jika sebelumnya pendidikan melawan masalah kekurangan guru, fasilitas sekolah yang minim, akses jalan ke sekolah yang memprihatinkan dan banyaknya angka putus sekolah, kini harus melawan musuh baru yang bernama Covid-19.

Pemerintah daerah harus mencari jalan keluar untuk generasi penerus Maluku karena pemerintah daerah lah yang lebih paham tentang daerahnya sendiri tentu dengan berkoordinasi dengan pemerintah pusat.

Sejatinya pendidikan tak kalah penting dibandingkan kesehatan dan ekonomi. Karena dengan pendidikan generasi berkualitas terbentuk. Dan generasi itulah yang nantinya dapat mengeluarkan Maluku dari salah satu Provinsi termiskin di Indonesia.

Semoga pandemi ini cepat berlalu dan kondisi membaik seperti sedia kala. Sehingga siswa bisa mendapatkan hak pendidikannya secara utuh dan berkualitas (***)