Papua Indah di Mata Saya, Tapi Tak di Mata Seorang Mensos
Data statistik juga menguatkan validasi atas menjauhnya Papua dan Indonesia Timur dari kehangatan kemakmuran. Perangkingan atas rerata kemiskinan selalu berada posisi satu, dua, tiga dan empat terbawa. Buka lagi indeks pembangunan lainnya. Kita akan mengelus dada, jika memang Papua dan Intim terlupa dan dilupakan.
Dialog setara semestinya dibangun untuk menghilangkan rona kesendirian Papua dan Indonesia Timur. Karena selama ini, mereka hanya menerima hasil dari keputusan di ruang-ruang terbatas, tanpa kepala yang terlibat untuk menyimak, mulut yang ikut bernarasi dan telunjuk yang dapat leluasa berinterupsi. Posisi Papua dan Intim adalah penerima hasil. Ketukan palu yang kadang jauh dari rasa adil. Tapi wajib diterima.
Maka, teriakan apapun, selalu menjadi angin lalu. Ada, tapi porsinya untuk meninabobokan. Mengejar ketertinggalan menjadi utopia. Dalam sebuah diskusi, seorang akademisi pernah menyampaikan, Indonesia Timur membutuhkan waktu 30 tahun untuk mengejar dan berjuang agar sejajar dengan saudaranya di Barat.
Jika titik berangkatnya sekarang, maka Papua dan Timur Indonesia menjadi semakin jauh. Mengejar hanya membuat nafas tersengal. Bahkan runtuh tanpa bertemu garis finish.
Kearifan semestinya dibutuhkan untuk hadir di kepala para pemangku. Dimulai dengan bijak pada diri sendiri. Menghilangkan stigma yang membuat rasa pilu. Kepiluan yang seharusnya disadari ada karena tak adil dalam membagi.
Papua adalah tanah yang dirindukan. Dia indah di mata saya. Namun hari ini tak indah di mata Risma. Saya berharap besok – besok, Risma datang ke Papua dan membangun tanah tersebut. Setelahnya memberi persaksian, Papua dan Indonesia Timur adalah tanah masa depan. (*)