Papua Indah di Mata Saya, Tapi Tak di Mata Seorang Mensos
Catatan : M. Suhfi Majid
Tanggal 3 Desember 2020, kaki saya menjejak tanah Papua. Itu tugas pertama, berinteraksi dengan berbagai latar belakang di sana. 6 hari berkeliling, menyapa kota Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan hingga ke Raja Ampat.
Seperti wilayah lainnya di belantara Indonesia Timur, Papua selalu ramah menerima. Maret 2021, juga singgah beberapa hari di Manokwari.
Jika menyebut Nusantara, Papua mewakili. Datang ke Sorong, semua latar belakang kultur ada di sana. Mereka menyatu. Tepat jika kota Sorong menampakan wajah menyatunya republik. Ekonomi bergeliat. Digerakan oleh seluruh elemen.
Tak ada yang harus tersisih, karena sejatinya memang tak ada yang bergerak sendiri. Membuat wajah kota menjadi bergairah.
Apakah kota Sorong menjadi kota buangan? Manokwari menjadi kota para pembangkang? atau Jayapura menjadi kota bagi orang – orang tersisih? Stigma ini yang selalu berputar di kepala para punggawa negeri di luar Papua.
Tengok saja pernyataan ucapan kemarahan Risma, sang Menteri Sosial. Mengancam ASN tak becus bakal dibuang ke Papua terjadi di Balai Rehabilitasi Penyandang Disabilitas Wyata Guna, Kota Bandung (Selasa, 13 Juli 202).
Cukup sederhana untuk menafsir nada Risma, Papua menjadi tanah tak dirindukan bagi para ASN. Risma mewakili banyak kepala pemangku kepentingan di Jakarta jika Papua menjadi wilayah yang tak pantas berjejer untuk disandingkan dengan wilayah Barat.
Dalam konteks ini, ‘ketertinggalan’ dan ‘keterpinggiran’ Papua memang pantas untuk digugat. Hadirnya presepsi ini karena siapa? Oleh siapa? Dan siapa yang dituntut untuk mengambil alih tanggung jawab?
Tak hanya di Papua, wilayah tetangganya juga sepadan sehaluan. Maluku dan Maluku Utara. Mereka berhimpun di Indonesia Timur. Menyebut kata Intim (Indonesia Timur) di Jakarta, maka semua mata akan melirik, tanah yang terlupakan, tanah yang berlapis kemiskinan dan tanah buangan.
Data statistik juga menguatkan validasi atas menjauhnya Papua dan Indonesia Timur dari kehangatan kemakmuran. Perangkingan atas rerata kemiskinan selalu berada posisi satu, dua, tiga dan empat terbawa. Buka lagi indeks pembangunan lainnya. Kita akan mengelus dada, jika memang Papua dan Intim terlupa dan dilupakan.
Dialog setara semestinya dibangun untuk menghilangkan rona kesendirian Papua dan Indonesia Timur. Karena selama ini, mereka hanya menerima hasil dari keputusan di ruang-ruang terbatas, tanpa kepala yang terlibat untuk menyimak, mulut yang ikut bernarasi dan telunjuk yang dapat leluasa berinterupsi. Posisi Papua dan Intim adalah penerima hasil. Ketukan palu yang kadang jauh dari rasa adil. Tapi wajib diterima.
Maka, teriakan apapun, selalu menjadi angin lalu. Ada, tapi porsinya untuk meninabobokan. Mengejar ketertinggalan menjadi utopia. Dalam sebuah diskusi, seorang akademisi pernah menyampaikan, Indonesia Timur membutuhkan waktu 30 tahun untuk mengejar dan berjuang agar sejajar dengan saudaranya di Barat.
Jika titik berangkatnya sekarang, maka Papua dan Timur Indonesia menjadi semakin jauh. Mengejar hanya membuat nafas tersengal. Bahkan runtuh tanpa bertemu garis finish.
Kearifan semestinya dibutuhkan untuk hadir di kepala para pemangku. Dimulai dengan bijak pada diri sendiri. Menghilangkan stigma yang membuat rasa pilu. Kepiluan yang seharusnya disadari ada karena tak adil dalam membagi.
Papua adalah tanah yang dirindukan. Dia indah di mata saya. Namun hari ini tak indah di mata Risma. Saya berharap besok – besok, Risma datang ke Papua dan membangun tanah tersebut. Setelahnya memberi persaksian, Papua dan Indonesia Timur adalah tanah masa depan. (*)