BERITABETA,COM – Pemerintah akhirnya mencium gelagat lain dari kerusuhan Papua yang terjadi sepekan ini. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyebut Ketua Persatuan Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) Benny Wenda menjadi pimpinan dalam menggalang dukungan asing terkait kemerdekaan Papua.

 “Ya jelas toh. Jelas Benny Wenda itu yang pimpin. Dia mobilisasi diplomatik (untuk mendukung Papua merdeka), mobilisasi informasi yang missed, yang enggak benar, hoaks. Itu yang dia lakukan di Australia, di Inggris,” tegas Moeldoko di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (2/9/2019).

Lalu siapa Benny Wenda? beritabeta.com menghimpun sejumlah informasi dari berbagai sumber terkait tokoh Papua yang diduga berperan dalam kerusuhan Papua ini.

Benny Wenda,  lahir 17 Agustus 1974 (usia 45 tahun). Dia anak Lembah Baliem, Wamena, Papua yang sekarang tinggal di Inggris. Ia mengklaim dirinya sebagai tokoh perjuangan rakyat. Mengutip dari Wikipedia, Benny mengaku ketika muda hidup di sebuah desa terpencil di kawasan Papua Barat.

Di sana, dia hidup bersama keluarga besarnya. Mereka hidup dengan bercocok tanam. Saat itu, dia merasa kehidupannya begitu tenang, “hidup damai dengan alam pegunungan.” Kira-kira kondisi itulah yang dia rasakan.

Sampai satu saat sekitar tahun 1977, ketenangan hidup mereka mulai terusik dengan masuknya pasukan militer. Saat itu, Benny Wenda mengklaim pasukan memperlakukan warga dengan keji. Benny menyebut di situsnya, salah satu dari keluarga menjadi korban hingga akhirnya meninggal dunia.

Wenda mengaku kehilangan satu kakinya dalam sebuah serangan udara di Papua.

Benny Wenda melalui organisasi Demmak (Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka), membawa suara masyarakat Papua. Mereka menuntut pengakuan dan perlindungan adat istiadat, serta kepercayaan, masyarakat suku Papua. Mereka menolak apapun yang ditawarkan pemerintah Indonesia termasuk otonomi khusus.

Sekitar tahun 2001, ketegangan kembali terjadi di tanah Papua. Operasi militer menyebabkan ketua Presidium Dewan Papua meninggal. Wenda terus berusaha memperjuangkan kemerdekaan Papua.

Dia kemudian dipenjarakan pada 6 Juni 2002 di Jayapura. Selama di tahanan, Wenda mengaku mendapatkan penyiksaan serius. Dia dituduh berbagai macam kasus, Salah satunya disebut melakukan pengerahan massa untuk membakar kantor polisi, hingga harus dihukum 25 tahun penjara.

Pengadilan masih berjalan, Wenda kabur dari tahanan pada 27 Oktober 2002. Dibantu aktivis kemerdekaan Papua Barat, Benny diselundupkan melintasi perbatasan ke Papua Nugini dan kemudian dibantu oleh sekelompok LSM Eropa untuk melakukan perjalanan ke Inggris.

Sejak tahun 2003, Benny dan istrinya Maria serta anak-anaknya memilih menetap di Inggris. Pada tahun 2011, Pemerintah Indonesia pernah mengeluarkan Red Notice dan Surat Perintah Penangkapan dirinya.

Perannya di Kerusuhan Papua

Kapolri Jenderal Pol, Tito Karnavian sebelumnya mengakui ada kelompok masyarakat yang terlibat dalam aksi anarkis di Papua dan Papua Barat. Mereka  memiliki hubungan dengan pihak asing, terutama, organisasi di luar negeri.

“Ada. Kita sama-sama tahu dari kelompok-kelompok ini ada hubungannya dengan network di internasional,” kata Tito, Minggu (1/9/2019).

Polri saat ini tengah berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menangani masalah tersebut. Menurut Tito pihak-pihak yang diduga menggerakkan kericuhan di Papua sudah diketahui.

Benny sendiri sudah bersuara atas gejolak di Papua dan Papua Barat. Ia menyatakan tindakan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya menjadi pemantik kemarahan dan menyulut api ketidakadilan yang dialami rakyat Papua selama lebih dari 50 tahun. Menurut Benny, saat ini adalah waktu yang tepat untuk merdeka.

“Kami sangat membutuhkan dunia untuk waspada dan untuk mendukung kami dan perjuangan kami untuk menentukan nasib sendiri dan perdamaian,” kata Benny dalam akun Facebooknya, Selasa (27/8/2019).

Benny juga pernah menyerahkan petisi yang sudah ditandatangani 1,8 juta orang untuk menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat kepada Ketua Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Michelle Bachelet, akhir Januari 2019. Ketika itu Benny ikut dalam rombongan delegasi Vanuatu.

Pada Senin kemarin sejumlah elemen masyarakat Papua turun ke jalan menggelar aksi menentang rasialisme. Massa berunjuk rasa ke sejumlah titik di enam wilayah Papua Barat.

Massa aksi yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Anti-rasisme juga menuntut referendum Papua. Mereka mengibarkan bendera Bintang Kejora di pusat keramaian, termasuk terminal.

Benny yang saat ini tinggal di Oxford, Inggris, juga mengecam pemblokiran akses internet di Papua. Dia menilai ini merupakan upaya untuk meredam kebebasan berekspresi.

Pemblokiran kata dia,  sangat menghambat informasi tentang jumlah orang Papua yang ditangkap, ditembak dan dibunuh.

Ia bahkan mendesak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), terutama komisioner tingginya untuk HAM, Michelle Bachelet, untuk mengunjung Papua. Benny turut mendesak Indonesia untuk berhenti menghalangi Bachelet untuk melihat realita di Indonesia.

Seruan serupa juga disampaikan Pemimpin negara di Pasifik. Desakan itu tertuang dalam dokumen communique yang disahkan para pemimpin negara Pasifik dalam Pacific Islands Forum (PIF) pada Jumat pekan lalu di Tuvalu.

Dalam dokumen itu, seluruh 18 negara anggota juga mendorong pemerintah Indonesia “dengan keras” untuk segera merealisasikan undangan yang diberikan kepada komisioner kantor PBB tersebut untuk berkunjung ke Papua. (BB-DIO)