Oleh : Saadiah Uluputty (Anggota DPR RI Dapil Maluku)

Indonesia, sebuah negara maritim yang memiliki kekayaan laut luar biasa, terbentang dari Sabang hingga Merauke dengan lebih dari 17.000 pulau. Laut bukan hanya bagian dari geografi kita, melainkan juga identitas bangsa. Namun, meski potensi kelautan begitu besar, masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada laut, terutama nelayan tradisional, sering kali merasakan kesulitan yang bertolak belakang dengan narasi besar kekayaan maritim.

Ini adalah kenyataan pahit yang perlu dihadapi oleh pemerintah baru, yang diharapkan mampu membawa perubahan dan berpihak kepada rakyat.

Dalam beberapa periode pemerintahan terakhir, pembangunan sektor maritim sering kali menjadi wacana yang terdengar megah di atas kertas, namun dalam praktiknya banyak kebijakan yang justru tidak dirasakan langsung oleh masyarakat kecil, khususnya nelayan.

Hilirisasi dan industrialisasi, dua istilah yang sering kali disampaikan oleh pemerintah sebagai bagian dari agenda besar pembangunan ekonomi, belum memberikan dampak positif yang signifikan bagi rakyat kecil. Bahkan, banyak di antara mereka yang justru merasa termarjinalkan oleh kebijakan-kebijakan tersebut.

Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan penangkapan ikan terukur yang diusung oleh pemerintah lebih menguntungkan kapal-kapal besar, terutama kapal asing yang beroperasi dengan tonase besar antara 60 hingga 200 GT.

Kebijakan ini, meskipun dianggap sebagai langkah untuk mengoptimalkan potensi laut, sebenarnya lebih memberikan ruang bagi korporasi besar untuk mengeksploitasi sumber daya laut Indonesia, sementara nelayan-nelayan tradisional justru tersisih.

 

Hasil Tangkapan Nelayan Lokal Maluku

Kebijakan penangkapan ikan terukur, telah membuat nelayan kecil, yang sehari-hari berjuang di perairan dengan kapal-kapal berukuran kecil, semakin sulit bersaing. Mereka tidak memiliki akses yang sama terhadap sumber daya laut, teknologi, atau pasar yang lebih besar.

Akibatnya, banyak nelayan kecil yang terpaksa menggantungkan hidup mereka pada hasil tangkapan yang semakin menurun, sementara di sisi lain, keuntungan besar dinikmati oleh para pengusaha perikanan skala besar.

Ironisnya, mereka yang paling dekat dengan laut justru tidak merasakan kesejahteraan dari laut itu sendiri. Realitas seperti ini membuat kita merenung, apakah arah kebijakan maritim yang selama ini dijalankan sudah tepat?

Apakah nelayan lokal, yang seharusnya menjadi aktor utama dalam pengelolaan sumber daya laut, sudah mendapatkan porsi yang adil dalam kebijakan maritim nasional?

Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk kita refleksikan, terutama ketika kita memasuki era baru pemerintahan, yang diharapkan mampu membawa perubahan positif bagi sektor maritim Indonesia.