Pengamat dan Akademisi Harus Jujur Kepada Pemda Maluku (Bagian-1)
Oleh : Julius R. Latumaerissa (Ekonom dan Pemerhati Kebijakan Pembangunan Maluku)
DALAM iklim kebebasan berpendapat, saya yakin kita semua sepakat untuk siapapun dia bisa menyatakan pendapat secara bebas dan bertanggung jawab. Namun patut diperhatikan bahwa dalam menggunakan hak berpendapat seharusnya disampaikan secara jujur, obyektif, beradasarkan logika akademis.
Hal ini perlu dikakukan sehingga tidak membingungkan pihak lain, bahkan pendapat yang kita sampaikan seharusnya bukan untuk menyenangkan pihak lain. Pengamat dan akademisi harus independen dalam berpendapat tanpa kepentingan apapun yang melatar belakangi pendapat yang disampaikan.
Sebaliknya sebagai pengamat atau akademisi harus memiliki obyektifitas berpikir dan harus mengakui bahwa perbedaan pendapat adalah sesuatu yang lumrah, karena masing-masing orang memiliki pijakan dan perspetif pandang yang berbeda untuk suatu objek permasalah.
Namun saya percaya bahwa seorang ekonom dan akademisi dala memberikan penilaian sudah tentu memiliki indikator-indikator makro ekonomi yang bersifat standard dan umum digunakan, siapapun dia pasti akan berpedoman pada semua indikator yang sering digunakan.
Perkembangan Ekonomi Maluku
Perkembangan ekonomi suatu daerah selalu diukur dengan tingkat pertumbuhan output (PDRB) baik dari sisi produksi (suplly) atau sisi pengeluaran (demand), menurut ukuran waktu, Tahunan, TW, Quartalan ataupun Semesteran.
Jika demikian maka perekonomian Maluku berdasarkan besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku TW I-2019 sebesar 11,13 triliun, dan atas harga konstan 2010 sebesar 7,54 triliun. Pada TW II-2019 PDRB Maluku tercatat sebesar 11,44 triliun dan atas harga konstan 2010 sebesar 7,70 triliun.
Pada TW I-2020 mencapai 11,75 triliun rupiah dan atas harga konstan 2010 mencapai 7,84 triliun rupiah[2]. Dari angka tersebut maka diketahui bahwa selama periode TW I-2019 dan TW II-2019 sampai TW I-2020 tingkat perubahan PDRB kurang lebih sebesar 310 milyar saja.
Dilihat dari aspek pertumbuhan maka ekonomi Maluku TW I-2019 tumbuh sebesar 6,32% sedangkan pada TW II-2019 tumbuh sebesar 6,09% atau turun sebesar 0,23%. sedangkan pada TW I-2020 tumbuh menurun 4,01% atau mengalami penurunan sebesar 2,31% dari periode TW I-2019.
Dari data di atas jelas diketahui bahwa selama periode TW I-2019 dan TW II-2019 sampai TW-I 2020 pertumbuhan ekonomi Maluku mengalami penurunan yang sangat signifikan baik dari sisi produksi maupun dari sisi pengeluaran.
Hal ini menggambarkan bahwa terjadi pelambatan dalam perekonomian maluku sebagai akibat rendahnya produksi daerah baik dari sisi produksi maupun sisi pengeluaran. Proses pelambatan perkembangan ekonomi ini tentunya akan sangat berpengaruh kepada kondisi makro ekonomi Maluku dan kesejahteraan masyarakat Maluku secara keseluruhan, sehingga tidak ada alasan yang mngatakan bahwa ada kemajuan dalam capaian pembangunan di Maluku. selanjutnya dapat dilihat pada grafis-1 dan grfais-2
Perkembangan Derajat Kesehatan
Salah satu indikator kesejahteraan masyarakat suatu daerah yang digunakan pemerintah adalah tingkat kesakitan (morbidity rate) yaitu keluhan kesehatan untuk menentukan derajat kesehatan penduduk.
Pada tahun 2019, sebesar 18,09 % penduduk laki-laki di Maluku tercatat mengalami keluhan kesehatan, sedangkan penduduk perempuan di Maluku yang mengalami keluhan kesehatan sebesar 20,67%, sehingga secara total tingkat keluhan sakit (morbidity rate) sebesar 38,76%, dengan demikian dari 100 penduduk Maluku yang mengalami keluhan kesehtan maka 39 orang diantaranya mengalami gangguan kesehatan yang menyebabkan tidak bias beraktivitas.
Data Susenas 2019 mencatat, penduduk Maluku yang mengalami keluhan atau gangguan kesehatan cenderung lebih memilih tempat pelayanan kesehatan Puskesmas/pustu sebesar 54,36%; praktik dokter/bidan sebesar 26,71%; Rumah Sakit Pemerintah sebesar 9,99%, dan Klinik/Praktik Dokter Bersama sebesar 7,26%.
Selain itu perkembangan lain yang mencatat bahwa penduduk Maluku 61,19% memilih tidak melakukan pengobatan dengan berbagai alasan yaitu pengobatan sendiri, sebesar 61,19%, alasan merasa tidak perlu 31,91% dan tidak mempunyai biaya berobat sebesar 2,86%, ada juga alasan tidak ada biaya transportasi, tidak ada sarana transportasi, waktu tunggu pelayanan lama, dan alasan tidak ada yang mendampingi berkisar di bawah 1,75%.
Dari informasi data di atas saja sudah menunjukan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Maluku sampai tahun 2019 masih rendah dari aspek layanan kesehatan Karen memiliki banyak factor, yaitu factor lemahnya transportasi sebagai akibat insfrastruktur yang masih kurang, diikuti dengan factor rendahnya pendapatan masyarakat, selain itu kurangnya sarana layanan kesehatan dan infrastruktur kesehatan di berbagai kecamatan dan desa.
Perkembangan Pengangguran
Pengangguran (unemployment) adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat” (Bappenas, 2004).
Pengangguran Maluku pada periode Agustus 2019 meningkat sebesar 54.575 orang atau 7,08% dari total angkatan kerja pada periode yang sama yaitu 770.386 orang, dan jumlah ini lebih besar dari angka pengangguran bulan Februari 2019 sebesar 52.821 orang atau 6,91% dari total angkatan kerja yaitu 764.030 orang.
Jika dilihat menurut data tahunan maka pada tahun 2019 terjadi penurunan angka pengangguran 0,58% jika dibandingkan dengan periode Agustus 2018, namun lebih rendah tingkat penurunan ini jika dibandingka dengan Februari 2019 sebesar 7,26%.
Kondisi di atas ini terjadi disebabkan penyerapan tenaga kerja yang masih rendah disebabkan rendahnya kinerja perekonomian Maluku yang hanya tumbuh 4,73% pada TW IV-2019, lebih rendah dari TW III-2019 dengan angka pertumbuhan 5,26%, namun lebih tinggi dari pertumbuhan pada TW I-2020 yaitu 4,01%. Pelambatan perekonomian Maluku disebabkan juga rendahnya investasi, defisit neraca perdagangan Maluku, dan lemahnya infrastruktur yang mendukung proses produksi, distribusi, dan pemasaran.
Jika dilihat dari struktur tenaga kerja (labour force) di Maluku, maka diketahui bahwa sektor yang paling besar menyerap tenaga kerja adalah sektor pertanian dalam arti luas, sementara pada periode 2019 terjadi pelambanan pertumbuhan dan produktivitas sektor pertanian.
Disisi lain tingginya angka pengangguran ini disebabkan jumlah penambahan lapangan kerja di Maluku belum mampu mengimbangi penambahan jumlah angkatan kerja sehingga walaupun jumlah orang yang bekerja meningkat tetapi seirama dengan itu jumlah pengangguran juga meningkat (bersambung)