BERITABETA.COM, Bula — Pengelolaan blok Migas Bula dan Non Bula di Kabupaten Seram Bagian Timur [SBT], Provinsi Maluku terus menjadi perhatian sejumlah pihak.

Keberadaan kedua blok ini, menjadi tema utama yang diangkat Persaudaraan Pemuda Etnis Nusantara [PENA] SBT dalam diskusi yang dikemas dalam Coffee Morning yang berlangsung di Sigafua Cafe Kota Bula, Sabtu (11/12/2021).

Diskusi ini juga melibatkan beberapa wakil rakyat asal SBT yang menyoroti ketimbangan sosial yang terjadi di tengah berlimpahnya sumber daya alam yang di kandung.   

Ketua Badan Koordinasi Daerah [Bakorda] Samsul Bahri Kelibai mengatakan, diskusi yang digagas pihaknya itu sebagai langkah awal PENA SBT dalam mengawal masalah Migas yang sudah dieksploitasi bertahun-tahun di kabupaten berjuluk 'Ita Wotu Nusa' itu.

Menurutnya, isu Migas Blok Bula dan Non Bula saat ini sangat penting untuk dikawal semua pihak di daerah itu. Apalagi, beberapa waktu lalu Pemkab SBT, DPRD dan PT Maluku Energi Abadi [MEA] telah melakukan pertemuan untuk membahas pengelolaan Participating Interest [PI] 10%.

"Pengelolaan Blok Migas saat ini menjadi perbincangan hangat di Provinsi Maluku, terutama di Kabupaten Seram Bagian Timur," ujar Samsul Bahri Kelibai

Sementara itu, Anggota DPRD Maluku dapil SBT,  M Fauzan Husni Alkatiri membeberkan, Kabupaten SBT memiliki SDA yang melimpah, termasuk Migas yang saat ini dikelola oleh PT Citic Seram Energy Limited dan Kalrez Petroleoum.

Kendati demkian kata dia, Kabupaten SBT kini menjadi satu dari lima kabupaten di Provinsi Maluku yang ditetapkan Pemerintah Pusat sebagai daerah dengan kategori kemiskinan ekstrem.

"Ini tantangan untuk kita generasi muda SBT, bagaimana cara kita mengkonversi kekayaan alam ini sehingga menjadi stimulan kemajuan, terutama bagi daerah kita," beber M Fauzan Husni Alkatiri

Semnetara,  Ketua Fraksi PDI-Perjuangan DPRD Kabupaten SBT Abdul Azis Yanlua menegaskan, Participating Interest [PI] 10% Blok Bula dan Non Bula menjadi hak mutlak. Pasalnya kedua blok ini pengelolaannya berada di wilayah darat.

Dia menjelaskan, dalam Peraturan Menteri [Permen] ESDM Nomor 37 telah mengamanatkan bahwa pengelolaan pertambangan yang letaknya 4 mil ke darat menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten.

"Sehingga penawaran PI 10% harus ke daerah penghasil. 4 mil sampai 12 mil menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, 12 mil ke atas menjadi kewenangan Kementerian ESDM," beber Abdul Azis Yanlua.

Anggota Komisi A DPRD SBT itu mengaku, dalam beberapa kesempatan, DPRD setempat terus ngotot karena hal tersebut menjadi hak mutlak daerah berjuluk 'Ita Wotu Nusa' itu yang tidak bisa diukur, ditimbang dan dicocokkan.

Anggota Komisi A DPRD SBT itu juga membeberkan, DPRD secara kelambagaan kala itu sangat marah terhadap Pemerintah Provinsi Maluku. Pasalnya, penawaran PI 10% ini telah ditawarkan oleh kontraktor kontrak kerja sama pada 2019, namun informasi penawaran PI 10% ini baru diketahui Pemda SBT pada 2021.

"Tentu kita marah, kalau sudah disampaikan informasinya di tahun 2019. Apa susahnya Pemda bersama dengan DPRD membentuk induk perusahaan yang menangani masalah pertambangan," tegasnya.

Di tempat yang sama, Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD SBT Costansius Kolatfeka menegaskan soal status kemiskinan ekstrem di tengah kekayaan Sumber Daya Alam [SDA] Kabupaten SBT yang melimpah.

Dalam diskusi yang mengusung tema 'Migas Bula untuk Siapa, Pentingkah BUMD Migas?'. Dia meminta agar menjadi satu tantangan bagi semua pihak di daerah itu untuk dijawab dalam sebuah komitmen bersama.

"Harus ada satu sikap politik Pemda, DPRD dan rakyat SBT, ada sebuah interupsi besar bagi kondisi ini," ungkap Costansius Kolatfeka (*)

Pewarta : Azis Zubaedi