Polemik Pose Dua Jari Anies, Bawaslu Dinilai Tidak Netral
BERITABETA.COM, Jakarta – Kasus pose dua jari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang diperiksa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), terus menuai sorotan. Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia, Chusnul Mariyah, menilai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak netral dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.
“Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu sudah terlihat tidak netral, sudah terlihat dipertanyakan integritas dan kenetralan,” kata Chusnul saat menjadi pembicara di dalam topik “2019, Adios Jokowi?” di Kantor Seknas Prabowo-Sandi, Jakarta, Rabu (9/1/2019).
Kasus Anies mengacungkan dua jari pada akhir pidatonya saat Konferensi Nasional Gerindra di Sentul, Jawa Barat, beberapa waktu lalu, kata mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini, sejatinya tak perlu dipersoalkan oleh berbagai pihak karena acara itu berlangsung tertutup. “Ini persoalannya Anies di dalam acara partai yang tertutup, bukan terbuka,” tuturnya.
Ia pun balik bertanya kepada penyelenggara pemilu yang terkesan membiarkan kepala daerah dan menteri yang secara terang-terangan mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu. Chusnul tak mengerti dengan komitmen netralitas dari penyelenggara pemilu.
“Yang terbuka itu dibiarkan, ada 15 kepala daerah, ada menteri dan ada macam-macam. Artinya sudah ada kecenderungan untuk apapun yang berasal dari oposisi itu cepat sekali. Termasuk ke kontainer itu tugasnya Bawaslu bukan KPU,” tukasnya.
Secara terpisah, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ikut mengomentari dugaan pelanggaran kampanye yang dilakukan Anies Baswedan.
Koordinator Juru Bicara BPN Dahnil Anzar Simanjutak merasakan ketidakadilan dalam penanganan kasus tersebut. “Kami sih pentingnya begini, ya, kuncinya adalah bahwa seluruh aparatur hukum berlaku adil saja. Karena yang sekarang dirasakan oleh masyarakat itu keadilan absen,” kata Dahnil di Jakarta.
Ia pun mengaku heran dengan dugaan yang dialamatkan kepada Anies. Keherannya tersebut, jika salam jari yang dilakukan dari kubu oposisi pemeriksaannya dilakukan dengan sangat cepat.
Sebaliknya, jika pendukung pemerintah yang melakukan kesalahan, proses hukum berlangsung alot. “Jadi saya sih melihat kunci sekarang dalam penegakan hukum ada ketidakadilan,” tuturnya.
Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, terancam sanksi pidana pemilu atas tindakannya mengacungkan jari saat menghadiri konferensi nasional Partai Gerindra di saat jam kerja. Anies juga telah memberikan klarifikasi kepada Bawaslu atas perbuatannya tersebut.
Anies diduga melanggar Pasal 574 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang menjelaskan bahwa pejabat negara yang dengan sengaja membuat/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, memungkinkan untuk dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.
“Saya tadi dipanggil untuk pemeriksaan klarifikasi oleh Badan Pengawas Pemilu Kabupaten Bogor. Pemanggilannya untuk tanggal 3 Januari,” kata Anies, di Jakarta, Senin (7/1).
Namun pada 3 Januari, dia berada di Lombok sehingga dijadwalkan ulang menjadi 7 Januari. Badan Pengawas Pemilu Bogor akhirnya bersedia untuk melakukan permeriksaan itu di Jakarta, sehingga secara transportasi memudahkan Anies lantaran kesibukannya di Jakarta.
“Kemudian ada 27 pertanyaan yang tadi diberikan, prosesnya mulai jam satu selesai jam dua seperempat dan sesudah itu lebih banyak mengecek penulisan berita acara klarifikasi jadi tadi disebutnya adalah permintaan klarifikasi,” tutur Gubernur.
Dijelaskannya, pertanyaan adalah seputar kegiatan di Sentul International Convention Center, pada waktu itu Anies memberikan sambutan. “Mereka menyampaikan videonya lalu bertanya seputar itu dan saya jelaskan seperti apa yang ada di video itu, saya sampaikan bahwa tidak lebih dan tidak kurang, sehingga tidak perlu saya menambahkan,” kata Anies.
Ketua Bawaslu Kabupaten Bogor, Irvan Firmansyah, mengatakan Anies menjalani pemeriksaan selama dua jam. “Poin klarifikasinya adalah dugaan pelanggaran pasal 547 sanksi pidana terkait perbuatan menguntungkan atau merugikan salah satu pihak. Yang dilaporkan itu mengacungkan jari yang dianggap sebagai simbol,” tegas Irvan.
Pasal 574 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 menjelaskan pejabat negara yang dengan sengaja membuat/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, memungkinkan untuk dipidana dengan hukuman penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). (BB-ROL)