Presiden dari Jalur Non Partai Politik : Konstitusional
Oleh : AA LaNyalla Mahmud Mattalitti (Ketua DPD Republik Indonesia)
Negara ini lahir atas perjuangan pergerakan kemerdekaan. Itulah kalimat yang tertulis di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar kita. Kalimat persisnya; “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Memang benar, negara ini merdeka atas kerja bersama kaum pergerakan kemerdekaan, yang terdiri dari kelompok pergerakan, cendekiawan, ulama dan tokoh agama, militer dan para pemangku adat, baik raja maupun sultan Nusantara.
Dan bila kita tarik mundur ke belakang, spirit sebagai sebuah bangsa yang berdaulat telah ada dari masa lahirnya Budi Oetomo dan momentum Sumpah Pemuda. Dan bila kita tarik mundur ke belakang lebih jauh, spirit sebagai sebuah bangsa yang berdaulat sebenarnya sudah ada di era kerajaan dan kesultanan Nusantara.
Hal ini dibuktikan dengan catatan sejarah adanya perlawanan di beberapa penjuru Nusantara terhadap V.O.C dan penjajah Belanda oleh raja dan sultan Nusantara.
Dan mereka semua merelakan dan menundukkan diri bersama demi kedaulatan sebuah negara yang merdeka, yaitu Indonesia, yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Itulah pikiran negarawan sejati. Berpikir dengan luhur untuk sesuatu yang besar. Untuk sesuatu jariyah akhirat setelah kehidupan di dunia ini.
Para pendiri bangsa yang bersidang di BPUPKI maupun PPKI akhirnya merumuskan Konstitusi kita. Yang kita kenal dengan UndangUndang Dasar 1945 naskah asli.
Dimana kedaulatan rakyat diberikan melalui pemilu untuk memilih wakil-wakilnya, atau para hikmat untuk duduk di kursi permusyawaratan. Itulah mengapa Daulat Rakyat diberikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Seperti termaktub dalam Pasal 1 Ayat (2) yang tertulis; “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Di dalam MPR terdapat tiga komponen, anggota DPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan.
Seperti termaktub dalam Pasal 2 Ayat (1) yang tertulis; “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.”
Mereka yang mendapat mandat rakyat untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagai mandataris untuk menjalankan roda pemerintahan. Sehingga baik anggota DPR, maupun utusan daerah dan utusan golongan, dapat mengajukan atau mengusulkan calon presiden dan calon wakil presiden.
Seperti termaktub dalam Pasal 6 Ayat (2) yang tertulis; “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.”
Seperti kita tahu, pada tahun 1999 hingga 2002, terjadi Amandemen Konstitusi. Dengan dalil agar Indonesia lebih demokratis, sekaligus melakukan koreksi atas kelemahan beberapa Pasal di naskah asli Undang-Undang Dasar 1945.
Tetapi kemudian yang terjadi dalam perubahan empat tahap itu, sistem tata negara Indonesia berubah total. MPR tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi negara.
Utusan Daerah dan Utusan Golongan dihapus. Digantikan Dewan Perwakilan Daerah. Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Mandat rakyat diberikan kepada dua ruang politik. Yaitu kepada Parlemen dan kepada Presiden. Sehingga masing-masing bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Melalui mekanisme pemilu.
Yang menjadi pertanyaan adalah; Dewan Perwakilan Daerah yang merupakan perubahan dan penyempurnaan wujud dari utusan daerah dan utusan golongan, mengapa justru kehilangan hak dasar sebagai pemegang Daulat Rakyat yang didapat melalui Pemilu? Yang sama-sama “berkeringat” melalui Pemilu bersama Partai Politik. Inilah yang saya sebut dengan kecelakaan hukum yang harus dibenahi.
Jadi penguatan peran dan posisi DPD RI bukanlah sebuah hal yang mengada-ada. Tetapi adalah upaya untuk mengembalikan atau memulihkan hak. Sebab, DPD RI adalah wakil dari daerah. Wakil dari golongangolongan.
Wakil dari entitas-entitas civil society yang non-partisan. Tetapi faktanya, mereka TIDAK BISA TERLIBAT dalam menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini, karena sejak Amandemen di tahun 1999 hingga 2002, wajah dan arah bangsa ini HANYA ditentukan oleh Partai Politik.
Partai Politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini. Dan hanya Partai Politik melalui Fraksi di DPR RI bersama Pemerintah yang memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga bangsa.
Padahal sumbangsih entitas civil society non-partisan terhadap lahirnya bangsa dan negara ini tidaklah kecil. Tetapi mereka terpinggirkan, dan semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan Partai Politik.
Tanpa second opinion dan tanpa reserved. Karena itu saya sengaja menggugah kesadaran bangsa, dengan terus menerus menyampaikan hal ini kepada seluruh elemen bangsa.
Karena hari ini bangsa Indonesia sudah jauh meninggalkan D.N.A. asli sejarah lahirnya bangsa ini. Bangsa ini nyaris mirip dengan bangsa-bangsa yang menganut paham Liberal Kapitalis. Padahal bangsa yang besar, pasti memiliki kesadaran yang besar atas sejarah kelahirannya. Sehingga menjadi peta jalan dalam menatap masa depan.
Sehingga sekali lagi, penguatan peran dan fungsi DPD RI bukan mengada-ada. Tetapi sebuah amanat sejarah. Bahwa bangsa ini juga memiliki ruang-ruang non-partisan yang juga berhak untuk ikut serta menentukan arah wajah dan perjalanan bangsa ini ke depan.
Kita bisa berkaca kepada hasil survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis pada 22 Mei 2021 yang lalu, dimana hasilnya ditemukan bahwa 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai dan hanya 28,51 persen saja yang menginginkan calon presiden dari kader partai.
Seharusnya DPD bisa menjadi saluran atas harapan 71,49 persen responden dari hasil survei ARSC yang menginginkan calon presiden tidak harus kader partai.
DPD RI juga harus membuka saluran bagi lahirnya calon-calon pemimpin bangsa yang hak-haknya dijamin oleh konstitusi. Seperti termaktub dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD NRI 1945, yang tertulis; “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Begitu pula dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI 1945, yang tertulis; “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Lalu dalam Pasal 28D Ayat (3) UUD NRI 1945, yang tertulis; “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Untuk itu, gagasan untuk membuka peluang calon pemimpin dari kalangan non-partai politik adalah konstitusional.
Oleh karena itu, saya berpendapat, bahwa wacana Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 yang kini tengah bergulir, harus menjadi momentum untuk melakukan koreksi atas Sistem Tata Negara sekaligus arah perjalanan bangsa ini.
Tentu DPD RI akan mendapatkan dorongan energi, bila seluruh elemen masyarakat Indonesia menjadikan agenda amandemen konstitusi sebagai momentum yang sama. Yaitu momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa (*)