Oleh : Jermias Rarsina (Advokat dan Dosen Hukum UKI Paulus Makassar)

PENGADAAN tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum telah diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Selain UU tersebut, secara operasional juga berlaku ketentuan teknis pelaksanaan lainnya.

Seperti Perpres No. 36 Tahun 2005 yang diperbaharui melalui Perpres No. 65 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan masih banyak ketentuan lainnya.

UU Pengadaan Tanah pada Pasal 9 ayat (2) Jo Pasal 27 ayat (2) huruf b, c dan d Jo Pasal 36 Jo Pasal 40 telah mengatur mengenai pemegang hak yang tanahnya terkena pengadaan tanah bagi proyek pembangunan berhak memperoleh ganti kerugian. Baik terhadap hak atas tanah itu sendiri, maupun tanaman dan bangunan atau benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Secara hukum dalam UU Pengadaan memberikan makna bahwa ganti kerugian diberikan kepada yang berhak. Kata yang berhak tentunya pula termasuk pemilikan tanah.

Dalam praktek penyelenggaraan kegiatan pengadaan tanah, sebelum masuk pada pembayaran ganti rugi, panitia pengadaan tanah akan melakukan kewenangan mereka. Yaitu berupa kegiatan inventarisasi dan identifikasi penguasaan dan pemilikan tanah.

Salah satu tujuannya adalah untuk mengetahui siapa subyek hukum pemegang hak atas tanah yang berhak memperoleh ganti rugi.

Kondisi hukum tersebut seringkali menjadi sumber masalah dalam penyelenggaraan kegiatan pengadaan tanah, jika ada pihak yang saling komplain satu sama lain sebagai pemilik tanah atau yang berhak dari pihak yang lain.

Walaupun ada kondisi hukum seperti itu, tetapi dalam praktek biasanya panitia pengadaan tanah mengabaikannya dan tetap melakukan kegiatan pengadaan tanah yang bertujuan bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Artinya aktifitas kegiatan pengadaan tanah tetap berlangsung dengan prinsip bahwa pembangunan jangan dihambat atau tidak boleh terhambat, karena status sengketa kepemilikan atau keberhakan atas lahan tanah.

Untuk menyikapi kondisi hukum tersebut, maka dalam praktek biasanya oleh panitia pengadaan tanah melakukan tindakan hukum berupa konsinyasi (penitipan) uang ganti rugi di pengadilan negeri.

Tujuannya adalah untuk kelak dapat membayar kepada para pihak yang bertikai sebagai pemilik atau yang berhak atas tanah dalam konflik pengadaan tanah. Itu adalah salah satu contoh konflik hukum pada satu sisi.

Namun pada sisi lain terdapat contoh lainnya, yaitu kalau ada pemilik tanah yang sah atau sebagai pihak yang berhak namun orang yang bersangkutan tidak memperoleh pembayaran ganti kerugian dari panitia pengadaan tanah. Dan ternyata dilakukan pembayaran kepada orang lain yang bukan pemilik atau tidak berhak,sehingga berakibat terjadi salah atau keliru dalam melakukan pembayaran ganti rugi.

Apalagi jika ada fakta hukum yaitu putusan perdata yang menjadi sengketa hak milik memenangkan pihak pemilik tanah yang tidak memperoleh/menerima pembayaran ganti rugi pengadaan tanah. Secara hukum semakin memperjelas kedudukan hukum dari perbuatan salah atau keliru membayar ganti rugi oleh panitia pengadaan tanah.

Akibat hukum yang ditimbulkan dari perbuatan salah atau keliru membayar oleh panitia pengadaan tanah adalah terjadi dugaan penyalagunaan kewenangan yang berakibat kerugian keuangan negara. Perbuatan panitia pengadaan tanah dinilai menyalahi aturan hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Selain itu, tidak memenuhi asas keadilan, kepastian dan keterbukaan dari tindakan ketidak hati-hatian atau ketidak kecermatan dalam menginventarisir dan mengidentifikasi pemegang hak atas tanah yang sah dan berhak. Apalagi kalau perbuatan tersebut dilakukan dengan unsur sengaja dengan tujuan komersial atau bisnis pada transaksi tanah.

Panitia pengadaan tanah dapat dikenakan perbuatan penyalagunaan kewenangan yang berakibat negara mengalami kerugian. Yaitu, uang negara telah disalah gunakan pembayarannya kepada orang yang bukan sebagai pemilik yang sah atau tidak berhak atas tanah.

Perbuatan panitia pengadaan tanah dapat dikategorikan telah melakukan dugaan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan pihak penerima uang ganti rugi yang bukan pemilik tanah atau tidak berhak.

Dugaan tindak pidana korupsi tersebut sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 56 KUH Pidana.

Ada contohnya, yaitu kasus pengadaan tanah dalam dugaan tindak pidana korupsi karena salah atau keliru membayar. Yang dibuktikan pada sengketa perdata kepemilikan lahan pada kasus bandar udara Mengkendek di kabupaten Tana Toraja.

Begitu juga kasus Bandara Hasanuddin Makassar. Yang berakibat Panitia pengadaan tanah in cassu Kepala BPN, Camat dan Kepala Desa di Kab. Maros masuk penjara. Karena divonis bersalah berkaitan dengan menerbitkan hak garapan atas tanah negara (tanah non hak) yang sifatnya rekayasa semata oleh panitia pengadaan tanah.

Pada kasus salah bayar, putusan perdata di Pengadilan Negeri Makale memenangkan salah satu pihak pemilik atau yang berhak atas tanah yang disengketakan sebagai obyek pengadaan tanah bagi pembangunan bandara di Kab. Tana Toraja hingga sampai ditingkat Mahkamah Agung RI.

Kasus hukumnya lalu kemudian bermuara pada laporan pidana dugaan tindak pidana korupsi. Kasus dimaksud sampai sekarang masih berada di Ditkrimsus kepolisian Polda Sulsel.

Penanganan atas kasus tersebut telah berakibat panitia pengadaan tanah, yaitu Sekda, camat dan kepala desa menjadi tersangka dan ditahan pada rumah tahanan negara. Informasi akurat mengenai berita tersebut bisa diakses pada media online Sindo News.Com edisi 28 oktober 2018 dan media Liputan 6.Com edisi 17 pebruari 2019.

Sedangkan pada kasus Bandar Udara Hasanuddin, modus kejahatan pengadaan tanah untuk memperoleh ganti rugi adalah secara rekayasa dibuat keterangan hak garapan kepada orang tertentu diatas tanah negara non hak.

Dengan dasarnya adalah menerbitkan sporadik penguasaan tanah secara fiktif. Seolah-olah orang tertentu tersebut berhak atas tanah negara yang ditempati/dikuasai, sehingga dapat menerima uang ganti rugi pengadaan tanah dalam proyek pembangunan Bandar Udara Hasanuddin.

Akibat dari perbuatan penyalagunaan kewenangan tersebut, maka Kepala BPN dan Kasub Pendaftaran Tanah, Camat dan Kepala Desa di Kabupaten Maros sebagai panitia pengadaan tanah divonis bersalah dan sekarang menjalani hukuman penjara. Semua karena kesalahan memberikan pembayaran kepada orang yang tidak berhak menerima ganti rugi.

Publik bisa mengakses informasi tersebut pada media oline Liputan 6.Com edisi 28 Desember 2017 dan 1 Desember 2018 serta media online Rakyatku.com edisi 13 oktober 2017.

Contoh kedua kasus tersebut menunjukan bahwa Panitia Pengadaan Tanah dapat diproses secara pidana dalam dugaan tindak pidana korupsi. Sepanjang panitia pengadaan tanah tidak menjalankan kewenangannya berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku sehubungan dengan pengadaan tanah. Yang berakibat negara mengalami kerugian keuangan negara karena salah bayar (***)