Kata ‘bekas’ atau ‘eks’ kini nyaris punah dipakai untuk menerangkan posisi seseorang. Sejak ditetapkan sebagai kata baku dalam Bahasa Indonesia tahun 1984 silam, kata ‘mantan’ sebagai penggantinya laris manis dipakai.

Kata ini diambil dalam bahasa Basemah, Komering, dan Rejang yang bermakna ‘tidak berfungsi lagi’.

Dalam dunia asmara, kata mantan acap kali terdengar disandang untuk menerangkan seseorang yang pernah singgah di hati lawan jenisnya. Makanya kita sering mendegar kalimat “mantan terindah”, “mantan yang sukar dilupakan” dan seterusnya.

Pekan ini, sepertinya kata mantan kembali ramai terdengar di ruang publik Maluku. Namun mantan yang dimaksud bukan mantan pacar atau mantan kekasih. Yang jadi tranding topik adalah mantan pejabat publik.

Ada apa dengan mantan pejabat?  Mereka yang tranding itu, karena berada dalam pusaran korupsi. Mantan Pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) atau trand-nya disebut kepala dinas.

Ya, mereka dibidik petugas Kejaksaan lantaran perbuatan yang dilakukan saat berkuasa memimpin instansi di daerah. Uniknya, mereka para mantan ini juga sulit dilupakan. Bagai mantan sang kekasih dalam kisah asmara, Korps Adhyaksa terus mengincar mereka, dengan mengulik jejak kuasa yang ditinggalkan.

Setidaknya dalam pekan ini ada dua kasus dugaan korupsi yang menyeret para mantan ini. Kejaksaan ibarat tak bisa move on melupakan mereka para mantan itu. Dua hari berturut-turut, dua sang mantan jatuh dalam ‘pelukan Adhyaksa’.

Mereka adalah mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Maluku Barat Daya, berinisial JJK dan mantan Kepala Dinas  Perindag Kota Ambon bernisial PL.

JJK lebih dulu digiring ke rutan klas II A Ambon pada Kamis 11 November 2021. Ia  disangka  dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi anggaran pembangunan dua pabrik es tahun anggaran 2015 di Kabupaten Maluku Barat Daya.

JJK dalam kasus ini tidak sendirian, Ia ditahan bersama  dua rekannya berinisial Ny. AG dan ST yang diduga turut terlibat dalam perkara yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1,7 miliar.

Ketiganya meninggalkan jejak yang sukar dilupakan oleh Korps Adhyaksa. Faktanya, perbuatan mereka yang terjadi pada tahun 2015 berhasil dikorek-korek hingga terungkap ke permukaan. Butuh waktu 6 tahun Korps Adhyaksa menggiring mereka ke hotel prodeo.

Para tersangka dijerat melanggar pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat (1) KUHPidana.   

JJK dan dua rekannya baru menginap semalam. Hari ini, Jumat 12 November 2021, kembali korps berbaju coklat itu menggiring lagi mantan Kepala Dinas Perindag Kota Ambon bernisial PL.

Serupa dengan JJK. PL juga tidak sendirian. Ia digiring bersama rekannya berinisial  VM yang menjabat sebagai Kepala UPTD Pasar Mardika. Keduanya disangka dalam kasus korupsi anggaran retribusi pelayanan pasar pada Dinas Perindag Kota Ambon tahun anggaran 2017-2019 yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1,3 miliar.

PL dan MV bernasib serupa dengan JJK dan dua rekannya. Meraka juga dijerat melanggar pasal 2 ayat (1) Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat (1) KUHPidana.

Berhasilnya Kejaksaan menggiring para mantan pejabat ini ke tahanan merupakan sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Namun, juga patut dipertanyakan. Kenapa baru sekarang para mantan ini bisa digiring ke hotel prodeo?

Mungkin saja ini soal waktu. Dalam masa kekuasaan memang sukar untuk mengendus sebuah praktek yang merugikan dilakukan seorang pejabat, karena pastinya aparat membutuhkan alat bukti yang kuat.

 

Mantan Kadis Perindag Kota Ambon, PL digiring menuju mobil tahanan jaksa menuju Rutan Klas II A Ambon

 

Ataukah jangan sampai saat itu  aparat penegak hukum ikut ‘kasmaran’ atau  ‘jatuh cinta’ pada mereka? Karena rata-rata dua kasus korupsi yang menyeret para mantan ini sudah terpaut waktu cukup lama. Kasus yang menjerat JJK dan dua rekannya itu terjadi 6 tahun silam. Sementara yang melilit PL dan VM juga terjadi 4 tahun silam.

Ah,, sudahlah, tak baik juga bersikap suudzon menilai mereka yang berwenang dalam penegakan hukum itu. Sebab, ada juga pejabat publik di Maluku diseret ke tahanan saat masih aktif berkuasa.

Walau demikian, para mantan pejabat yang sekarang menyandang status tersangka itu dari sisi hukum belum 100 persen dapat dicap bersalah. Mereka baru diduga, sehingga berlaku apa yang disebut  presumption of innocent atau praduga tak bersalah.

Asas praduga tidak bersalah merupakan asas umum hukum acara, karena diatur dalam UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai asas hukum umum, maka asas praduga tidak bersalah berlaku terhadap semua proses perkara baik perkara pidana, perkara perdata, maupun perkara Tata Usaha Negara.  

Artinya para mantan ini belum tentu melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.

Jenis perbuatan di atas telah dijelaskan secara gamblang dan diatur dalam 13 buah Pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Apapun kondisi para sang mantan ini, tak berdosa jika publik Maluku ikut menaruh harapan agar penegakan hukum atas kasus-kasus yang menyeret meraka dapat diselesaikan dengan tuntas.

Sebab, sebagai warga negara, kita pasti merasakan adanya keperihan bahkan nyilu disertai sesak di dada,  ketika membaca sebuah laporan yang disampaikan Indonesian Corruption Watch (ICW) tentang fenomena korupsi di negara kita.

Apa hasilnya? Wakil Koordinator ICW  Siti Juliantari dalam sebuah diskusi virtual pada 15 Agustus 2021 lalu mengungkap sepanjang tahun 2020 terdapat 444 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara ditaksir Rp18,6 triliun telah ditindak oleh penegak hukum di Indonesia.

Jumlah para pelaku atau tersangkanya mencapai 875 orang. Ratusan tersangka ini  sebagian besar ditindak dengan Pasal 2 dan 3 UU tentang Tipikor mengenai perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain/korporasi.

Motifnya sama  yakni memperkaya diri atau kepentingan pribadi maupun kelompoknya. Inilah fenomena yang terjadi, suka atau tidak korupsi di Indonesia patut disebut sudah membudaya. Maka tak heran ketika tak lagi berkuasa, para sang mantan dengan mudah jatuh ke ‘pelukan Adhyaksa’ karena tak ada lagi daya dan upaya (*)