SEANTERO publik Maluku baru saja menyaksikan kisah sedih di hari Rabu, 7 November 2018. Ya, hari Rabu, tidak seperti syair lagu group band legendaris Koes Plus yang menyebutkan “kisah sedih di hari Minggu”.

Di hari itu sang pemimpin di Kota Ambon, tak mampu menahan tangis. Sang walikota sedih. Beliau tak berdaya melihat kondisi yang terjadi. Ini karena proses seleksi Calon Pengawai Negeri Sipil (CPNS) di kota yang dipimpinnya tidak sesuai harapan.

Beliau patut sedih, lantaran kuota CPNS yang dijatahkan pemerintah pusat, terpaksa harus terpasung. Ada ganjalan bernama passing grade (ambang batas) nilai yang harus dipenuhi peserta seleksi.

Lho, bukankah setiap seleksi harus berakhir dengan lolos dan tidak? Sudah tentu bukan itu yang ditangisi. Sang Walikota Ambon Richard Louhenapessy tak mampu menahan tangis. Sebab, jumlah kelulusan peserta jauh dari kuota yang ditetapkan.

Air matanya berlinang, setelah mengetahui dari total 2.259 orang peserta yang mengikuti seleksi CPNS di lingkup Pemkot Ambon, hanya ada  20 orang yang dinyatakan lolos.

Sebagai seorang pemimpin, tangisan sang walikota patutlah diapresiasi sebagai tanda kecintaan. Cinta akan daerah dan cinta akan anak negeri.

“Saudara bayangkan, saya tidak punya anak yang ikut tes. Tapi kalau saudara punya anak yang lain punya anak, bisa kita bayangkan apa yang kita rasakan,”

Begitulah walikota mengungkapkan isi hatinya dalam jumpa pers. Dengan wajah sedih dan suara agak terbata-bata. Walikota terasa larut memikirkan nasib ratusan anak yang tidak lolos CPNS itu.

Sungguh luar biasa sang walikota. Kesedihan sang pemimpin, memang bukan barang langka, tapi ekspresi tangisan dengan mata berkaca-kaca, tentunya cukup menggemparkan dunia maya.

Media massa dan media sosial (facebook), menjadi medan luapan duka dan cibiran warga net. Banyak yang mensuport sikap walikota, banyak pula yang mencibir dengan kalimat “air mata buaya”.

Secara general, mungkin kita bisa membagi “kisah sedih di hari Rabu” itu menjadi tiga bagian penting dalam pengamatan kita.  Ekspresi, tangisan dan pernyataan.  Ekspresi seorang pemimpin, mungkin menjadi hal lumrah. Tangisan pun bukanlah barang yang mewah, jika ada rasa cinta yang tumbuh dalam hati. Apalagi pernyataan, tentunya bukan lagi hal aneh bagi seorang pemimpin untuk membuat pernyataan.

Tapi hal yang menjadi pertanyaan adalah alasan dari tiga sikap itu. Jika hanya karena merasa proses seleksi itu memasung hak-hak anak negeri, maka harusnya sang walikota yang memimpin Kota Ambon selama 2 periode ini, sudah harus  menangis sejak dulu. Sejak awal menjabat sebagai Walikota Ambon.

Tangisan sang walikota rasanya terlambat. Memory public Kota Ambon,  mungkin belum hilang. Karena sekian lama ada anak negeri yang masuk dan menjadi bagian dari sistem yang dipimpin sang walikota, sudah menangis setiap hari, minggu, bulan dan bahkan tahun.

Siapa mereka? Mereka adalah anak negeri yang mewakapkan diri mengabdi sebagai honorer di lingkup Pemerintah Kota Ambon selama bertahun-tahun. Jika harus menangis, mungkin harus lebih dahsyat tangisan sang walikota. Ya, bahkan bila perlu walikota harus histeris.

Honorer juga anak negeri, warga Kota Ambon. Dan mereka bukan hanya terpasung dengan metode passing grade. Ada 535 orang honorer di lingkup Pemkot Ambon, yang saban harinya merana.  Menunggu nasib keberuntungan yang tak pernah kunjung datang. Nasib mereka juga terpasung akibat menunggu revisi UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN (Aparatur Sipil Negara) yang tak pernah kunjung tiba.

Pilu mereka lebih dalam. Tapi mereka tak kuasa dan tetap menjalankan tugas sebagai tenaga relawan. Rela mengabdi, rela berjuang dan rela menunggu. Honorer juga berharap menjadi PNS. Sama dengan ribuan peserta seleksi CPNS yang gagal lolos.

Honorer sudah mengabdi dan mededikasikan diri kepada kota ini. Jika tangisan bisa menyebuhkan rasa kesal mereka, maka menagislah walikota, agar mereka, para tenaga honorer juga merasa dicintai.

Mungkin walikota tidak punya anak yang menjadi tenaga honorer. Tapi dari sekian banyak honorer itu, ada yang sudah punya anak dan keluarga. Lebih sedih mana pak walikota?

Jika tangisan itu dilandasi cinta kepada anak negeri, maka menagislah pak walikota. Bukan hanya kepada peserta seleksi CPNS yang masih memiliki kesempatan berjuang itu.  Tapi bagi tenaga honorer yang sudah sekian tahun mengabdi dan tak banyak punya harapan menjadi PNS.

Bukankah tangisan sang pemimpin itu, karena dilandasi rasa cinta dan memiliki? Jika tak ada ekspresi dan pernyataan, paling tidak, honorer pun patut ditangisi. Sebab, keberadaan honorer bukan karena kebijakan negara, tapi karena kebijakan daerah yang akhirnya terpasung kebijakan negara. Honorer siapa yang tangisi?  (***)