Catatan : Mary Toekan (Pemerhati Sejarah Islam)

Minyak wangi dalam Islam, bukanlah sekedar wewangian. Bahkan satu - satunya agama yang memasukkan wewangian ke dalam syariatnya hanyalah Islam dengan ketentuan berlaku.

"Parfum seorang laki - laki adalah yang tidak jelas warnanya tapi tampak beraroma harumnya. Sedangkan wewangian wanita adalah yang warnanya jelas namun aromanya tidak begitu tajam." (HR : Baihaki). 

Boleh jadi wewangian ini memang telah ada jauh sebelum kehadiran Islam di muka bumi. Wangi bunga dan seni membuat parfum sudah dikenal sejak zaman Mesopotamia dan Mesir, 2700 SM.

Tersebab lisan Rasulullah tentang wewangian terutama saat sholat di hari Jum'at, aroma wangi mulai menyebar di kalangan para sahabat.

Berbeda dengan teknik pembuatan parfum ala Mesir yang menggunakan kain, dunia Islam mengembangkan teknik ekstraksi wewangian,  jauh lebih efektif dengan cara distilasi uap.

Pada masa kekhalifahan Islam yang meluas ke  seantero bumi, teknik membuat parfum berkembang pesat menjadi industri minyak wangi.

Alat penyulingan yang menjadi lambang salah satu perkampungan minyak wangi di Perancis, adalah hasil karya ilmuwan Muslim Jabir bin Hayyan (721 - 815 M). Dunia Barat mengenalnya dengan nama Geber.

Lahir di Khurasan, Iran, bernama lengkap Abu Musa Jabir bin Hayyan Al-Shufiy Al-Azadiy. Padanya, dunia Barat akhirnya mengakui dan sematkan " Bapak kimia modern ". Dari penelitiannya, Jabir bin Hayyan memperkenalkan sejumlah peralatan laboratorium.

Beberapa teknik seperti penyulingan ( distalasi ), penguapan ( evaporation ) dan penyaringan ( fultrasi ) diperkenalkannya. Cara ini mampu mengambil aroma wewangian dari tumbuhan dan bunga dalam bentuk air atau minyak.

Dan teknik pembuatan seperti ini masih bertahan hingga kini di beberapa pusat penghasil minyak wangi di Perancis berkat satu - satunya kitab yang tersisa karya ahli kimia Al - Kindi ( 805 - 873 M ) bertajuk " Kimiya  Al - Itr " lalu diterjemahkan menjadi " Book of the Chemistry of Perfume and Distillations."

Meskipun generasi sekarang mengenal Paris sebagai kota parfum dunia, namun aroma wewangian masih menempel kuat di sebagian negeri Muslim.

Masih ingat Thaif ? Sebuah perkampungan di daratan tinggi, yang menyimpan luka sejarah Rasulullah SAW.

Ditemani putra angkatnya Zaid bin Haritsah, Nabi SAW berharap mendapat dukungan dari bani Tsaqif saat menyampaikan risalah. Thaif menjadi saksi bagaimana Rasulullah tertatih - tatih meninggalkan perkampungan ini atas aniaya segerombolan penduduk Thaif.

Tawaran oleh malaikat untuk menimpakan gunung Akhsyabin kepada masyarakat Thaif, ditolak Manusia Mulia ini. Doa tulus justru disorongkan ke pintu langit.

Kepada malaikat penjaga gunung itu, Rasulullah berkata : " Mereka belum mengetahui agama ini, kelak dari tulang sulbi negeri ini, akan hadir keturunan mereka yang menyembah dan mencintai Allah dan Rasul-Nya ".

Mustajab setiap lisan Rasulullah. Ibarat anak panah melesat tepat di titik sasaran. Bukan saja para mujahid - mujahid yang lahir dari rahim perkampungan ini, namun Thaif ikut  tersihir menjadi kota penyejuk mata. Desa yang dijuluki Qaryah Al - Mulk yang berarti Desa Para Raja.

Setiap akhir November sebelum masuk musim dingin, Thaif menggelar festival " Al - Tarf ", sebuah momen dimulainya tanam menanam mawar.

Ketika musim panen tiba sekitar akhir Maret,  langit perkampungan Thaif akan diselimuti harumnya bunga mawar, sebab prosesnya  membutuhkan waktu 35 hingga 45 hari.

Thaif menjadi rumah bagi 2.000 perkebunan mawar. Letaknya 1.900 meter di atas permukaan laut, memberikan suasana yang ideal untuk tumbuhnya mawar.

Mawar - mawar ini tak begitu saja tumbuh di pegunungan Thaif. Sepotong kisah dibalik berseminya mawar di daerah ini, berawal dari keramahan seorang Sultan Utsmani lima abad lalu, mempersembahkan bibit mawar Levant ( Suriah ) kepada seorang bangsawan di Makkah.

Bibit mawar ini dikirim ke Gunung Al - Hada untuk ditanam di sana, karena daerah ini terkenal dengan kelembutan dan cuacanya yang mirip dengan iklim di Levant.

Lima abad telah berlalu, bibit - bibit ini semakin tumbuh subur. Thaif dijuluki kota seribu mawar. Tercatat di tahun 2018, transaksi perdagangan dari pasar mawar Thaif mencapai 52 juta riyal Saudi, setara dengan 197 miliar rupiah. Tahun - tahun berikutnya diperkirakan berpotensi naik menjadi 70 juta riyal Saudi.

Berawal dari lisan Rasulullah SAW, setangkai mawar menjelma menjadi bunga dalam peradaban  Islam. Ia tumbuh menghiasi setiap sudut taman - taman di daulah - daulah Islam. Mawar seakan identik dengan kaum Muslimin.

Tradisi menanam mawar menjadi salah satu dari tujuh tradisi bangsa Arab, tercatat di Unesco. Dan pada tahun 2019 lalu, Unesco kembali memasukkan budidaya Damascus ke dalam daftar warisan bukan benda.

Di Damascus, dari mulai menanam hingga proses penyulingan, seluruh keluarga dilibatkan. Untuk mendapatkan minyak terbaik,  mawar akan dipetik di pagi hari agar terjaga aromanya tetap lembut.Tradisi ini diberi nama Rosa damascene.

Bukan hanya minyaknya. Penduduk Damascus juga mengolahnya menjadi bahan makanan seperti selai, sirup bahkan kue - kue kering.

Dikalangan masyarakat Muslim Afrika Utara hingga India, air mawar digunakan menjadi bumbu masakan yang populer.

Pada Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri, di Timur Tengah, air mawar biasa digunakan untuk penyedap dalam minuman seperti teh dan halwa, custard, jeli dan makanan penutup lainnya di momen istimewa itu.

Dalam kosmetik tradisional Timur Tengah, celak hitam atau bubuk antimonium sulfida yang digunakan sebagai eyeliner oleh para wanita Jazirah Arab itu, kerap kali dibuat dengan campuran air mawar.

Selain diambil minyaknya sebagai bahan dasar parfum, mawar juga menempati posisi teristimewa dalam khazanah kedokteran Islam sebab airnya mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan mulai dari tuberkulosis hingga gangguan perut dan mual.

Sementara para sastrawan dan filsuf seperti Jalaluddin Rumi dan Ruzbihan Baqli, mereka  menggambarkan setangkai mawar merah sebagai bagian dari keindahan dan kemuliaan Sang Maha Cinta.

Pada masa kekhalifahan Utsmani, setiap orang yang melewati kesultanan Turki akan mengabadikan dalam bait - bait perjalanan mereka tentang kecintaan masyarakat Turki terhadap berbagai bunga.

Setiap penduduk kekaisaran menjadikan menanam bunga sebagai hobi yang ditekuni dengan serius.

Tulip sangat populer di masyarakatnya sehingga menjadi motif desain dalam industri tekstil, keramik, lukisan, dan bahkan arsitektur. Dalam kaligrafi Utsmani, bunga - bunga sarat akan makna islami.

Seperti anggunnya setangkai Tulip yang  melambangkan Allah SWT bersanding dengan pesona sekuntum Mawar yang dimaknai sebagai simbol Rasulullah SAW.

Keindahan anyelir menyiratkan pengabdian, sementara kecantikan teratai yang merekah, mengapung di permukaan air, dianggap sebagai isyarat hamba Allah yang sedang  membentangkan sajadah.

Begitulah perjalanan wangi kuntum - kuntum  mawar dalam peradaban cahaya. Meski kota parfum telah bergulir ke tetangga seberang, tak jua menyurutkan pesona mawar di pegunungan negeri Rasulullah.

Seperti pesan Sang Khulafaur Rasyidin Ali bin Abi Thalib : "Jadilah seperti bunga yang memberikan keharuman, bahkan kepada tangan yang telah menghancurkannya".

Para ummahat, bagilah kisah - kisah menarik tentang peradaban ini, memenuhi mimpi - mimpi putra putri kita.

Kelak merekalah yang akan mengembalikan keindahan dan keagungan agama ini pada tempat yang dimaui Allah dan Rasul-Nya.

Semoga Allah membuktikan kekuatan doa dan ikhtiar setiap kita, agar mimpi anak - anak, kelak tak sekedar mimpi. Bukan pula sekedar hari - hari peringatan yang menyibukkan jadwal setahun kita.

Tapi ajari mereka bagaimana cara mendekap kitab - kitab para ulama, lalu pahami betapa sempurna dan indahnya agama ini. Selamat Hari Anak Nasional (*)

Geldrop, 24 Dhu'l - Hijjah 1443 H.