Mungkin karena kesamaan nama, secara emosi saya jadi terikat dengan La Rudi. Anak-anak penjual kacang di atas kapal feri sepertinya juga memaklumi. Kalau saya naik feri, mereka tidak mendekat. Mereka malah meneriakkan La Rudi memberitahu kehadiran saya.

Hubungan saya dan La Rudi berlangsung lama. Saya selalu membeli kacang walau saya tidak makan. Saya kantongi saja. Terkadang saya beri Rp500 namun ambil hanya sebungkus. Begitu seterusnya. Berkali-kali juga saya memberi Rp100 tanpa mengambil kacang.

Pada satu kesempatan lain, La Rudi datang kepada saya. Ia memberi sebungkus kacang.

“Ini untuk Om jua. Jangan bayar lagi. Barang sisa satu,” kata La Rudi.

Waktu itu, saya nyaris mengeluarkan Rp100 untuknya. Tiba-tiba saya batalkan niat itu. Saya bersalah andai memberinya uang. Justru saya tidak boleh mencederai niat tulusnya. Maka saya mengambil kacang itu, dan memakannya di hadapan mata La Rudi. Saya yakin dia puas, sebab sanggup memberi kacang gratis kepada saya. Dengan begitu, dia bukan hanya menerima dan menerima, tetapi juga sanggup memberi.

Beberapa bulan, saya tak pernah naik kapal feri. Sebab itu, lama tak bersua La Rudi. Maka ketika dari Ambon ke Poka, saya putuskan naik kapal feri.

Hari masih pagi. Mahasiswa, dosen dan para pegawai Universitas Pattimura berjubel. Ketika hendak naik tangga ke lantai dua, saya kaget La Rudi ada di situ. Dia tersenyum tipis lalu mendekat.

“Kacang, om?”

Saya tersenyum memandang La Rudi yang berdiri di hadapan saya. Lama saya tak jumpa. Lagi-lagi, saya tak suka makan kacang goreng, apalagi pagi-pagi.

Saya dan Rudi bergerak serentak. Saya naik ke anak tangga sedangkan La Rudi berdiri di bawah anak tangga. Tak ada yang membeli kacang La Rudi. Maka saya mengambil sebungkus kacang La Rudi. Dia tidak tahu bahwa saya mengambil kacangnya.

Tiba-tiba La Rudi bergerak menjauhi saya. Rupanya dia mengincar seorang calon pembeli di sebelah sana.

Seorang perempuan usia 50an berbusana orang kantoran memegang lengan La Rudi. Ia menahan gerak La Rudi sehingga bocah itu terhenti. Dia memandang ibu itu dengan heran.

“Ose kalau bajual, musti perhatikan bae-bae. Orang pancuri itu ada di mana-mana,” kata perempuan itu lalu matanya melotot ke arah saya.

“Eh, laki-laki tar tau diri, tar tau malu. Kalaparan Kapa sampe pancuri anak-anak kasiang punya kacang,” teriak perempuan itu.

Dia masih terus ngomel menghardik saya. Saya tidak terlalu risau dengan kata-kata perempuan itu, walau menyakitkan memang. Mata saya melihat kiri-kanan, apakah mungkin ada semacam gerakan main hakim sendiri seperti sering terjadi di mana-mana.

Ternyata orang-orang di atas kapal feri tidak spontan bereaksi. Tapi semua mata memandang ke arah saya.

“Ibu maksud Beta kah yang curi kacang?” Tanya saya kepada perempuan itu.

“Ose jua mo sapa lai? Itu kacang masih ada di ose punya tangan itu,” cetusnya sambil menunjuk sebungkus kacang di tangan saya.