Uniknya Desa Kilwaru dan Kiltai, Warganya Seperti Hidup di Atas Kapal Induk

Catatan : dhino pattisahusiwa
BERITABETA.COM - Provinsi Maluku yang berkarakteristik kepulauan dengan luas wilayah 712.480 Km2 banyak menyimpan pesona alam yang sukar ditemukan di daerah lain. Total panjang garis pantai seluas 10.662 Km, serta memiliki 1.340 pulau kecil dan besar, pastinya membuat Maluku memiliki keunikan yang tersendiri.
Salah satu yang membuktikan keunikan Maluku itu dapat ditemui di Kabupaten Seram Bagian Timur [SBT]. Beberapa pulau di daerah ini luasnya hanya setara 3 kali lapangan sepak bola. Namun ratusan tahun, warga membangun desa-desa dan menempatinya.
Satu diantaranya adalah pulau Kilwaru Kiltai, Kecamatan Seram Timur, Kabupaten SBT. Pulau ini termasuk 8 pulau yang dihuni penduduk dari 28 pulau yang tersebar di Kacamatan Seram Timur. Sementara 20 pulau lainnya tidak berpenghuni.
Di pulau ini terdapat dua desa kembar yang namanya Desa Kilwaru dan Kiltai. Ratusan tahun warga di dua desa ini menghuni pulau kecil dengan luas kurang lebih 2 kali luas lapangan bola. Lebar pulau ini hanya sekitar 50 meter, dengan panjang ada di kisaran 150 meter.
Berada di pulau kecil ini, serasa seperti berada di atas kapal induk. Setiap hari warganya harus menyeberangi laut menjalankan rutinitas keseharian. Ratusan anak sekolah harus menyeberang ke Pulau Geser, Ibukota Kecamatan Seram Timur.
Pulau yang berbentuk seperti kue donat itu, sejak dulu memang menjadi pusat perniagaan, pendidikan dan aktivitas pemerintahan.
“Disini tampat kami mengais rejeki. Kami hidup dengan mengandalkan hasil laut, untuk kelangsungan generasi kami kedepan,” kata tokoh masyarakat Kilwaru Ismail Rumau kepada beritabeta.com beberapa waktu lalu.
Pria beranak empat ini mengaku, tak ada yang aneh dengan kehidupan warga sekitar. Ia bersama puluhan kepala keluarga [KK] lainya sudah betah menetap di Kilwaru, karena mereka juga merupakan nelayan yang setiap saat berada di laut.
“Setiap hari makan ikan segar, hidup di atas laut yang menjadi ladang kami bertahun-tahun,” ungkapnya.

Saking kecilnya pulau ini, Desa Kiltai dan Kilwaru hampir tak berbatas. Hanya secara administrasi pemerintahan saja yang terpisah. Warga Kilwaru dan Kiltai hidup berbaur, tiris-tiris rumah mereka berdekatan.
Ciri khas pemukiman kedua desa ini, kebanyakan bagian belakang rumah atau dapur mereka, dibangun menjulur ke pantai. Hampir semua rumah yang berada di bibir pantai dibuat tembatan perahu.
Di Kiltai dan Kilwaru jangan bermimpi ada kendaraan roda empat disana. Mobil menjadi barang langka, karena memang tak bias digunakan. Moda transportasi andalan disana hanya perahu. Bila hendak ke kota Geser [kota kecamatan] warga hanya ke belakang rumah, langsung naik perahu dan siap menyebrang.
“Mau beli mobil taruhnya dimana dan untuk dipakai dimana? Kalau beli perahu sangat pas karena itu kebutuhan kita,” ucap Ismail penuh canda.
Pusat Ikan Demarsal
Selain unik karena luasnya tidak seberapa, bagi orang yang berkunjung ke Kilwaru dan Kiltai, bakal terpesona dengan keindahan alamnya.
Nama Kilwaru dan Kiltai, konon diambil dari kata “Kilwar”. Oleh warga sekitar sebuatan ini berarti pantulan cahaya matahari yang muncul dari daratan gosong [daratan pasir].
Air laut yang tenang, sepoi angin yang meniup setiap saat, dengan hamparan gosong pasir yang kerap timbul disaat air surut, membuat pulau ini cukup indah dipandang dan meyenangkan bagi setiap orang.
Bukan saja itu, sebagai desa bahari, pemandangan yang cukup mencolok di dua desa ini adalah hasil lautnya yang tak pernah habis.
Di Kilwaru dan Kiltai, setiap pengunjung bisa kapan saja melihat dan menyantap hasil laut berupa ikan segar jenis demersal [ikan dasar]. Setiap pagi, siang hingga malam, menu ikan menjadi menu favorit warga sekitar.

“Kalau makan ikan sudah bukan hal yang sukar. Dalam kondisi laut tak bersahabat pun, warga disini tetap mekan ikan, karena hampir seluruh warganya berprofesi sebagai nelayan,” kata Ismail.
Beberapa tahun lalu, beritabeta.com pernah menyimak sebuah cerita tentang kebiasaan nelayan di dua desa ini melaut. Hampir jarang mereka berburu ikan plagis, karena yang dominan dan dianggap berharga disana adalah ikan jenis demersal.
Dari kebiasaan menangkap ikan demersal ini, para nelayan kerap penangkap ikan demarshal di waktu malam, karena datangnya malam juga membuat berbagai jenis ikan demarshal menjadi ‘terlelap’ dan gampang untuk ditangkap.
“Ada jenis ikan yang namanya ikan Kakatua, sering nelayan disini menangkapnya dengan cara menyelam dan mendekatinya, kemudian mengaitkan kail di bagian mulut langsung di tarik ke permukaan air,”ungkap Ismail Rumau.
Parrotfish, atau yang sering dikenal dengan nama ikan Kakatua, merupakan salah satu jenis ikan demarshal yang jarang dikonsumsi warga disana.
Namun seiring perkembangan pasar, ikan jenis itupun kerap ditangkap dan diolah menjadi ikan asin dan abon ikan.
“Kalau dulu tidak ada harga ikan ini, karena banyak pilihan disini,” beber Mail sapaan akrabnya.
Desa Kilwaru, yang membawahi sebanyak enam dusun dengan jumlah penduduk ± 1000 jiwa itu, secara hidtoris warganya memang memiliki tradisi pengolahan ikan asin secara tradisional.
Madja Rumalutur Ketua Koperasi Perikanan Etarsia, Desa Kiltai, Kecamatan Seram Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT) dalam sebuah kesempatan mengakui setiap bulannya ikan demarshal atau jenis ikan yang hidup di dasar laut, mampu dieksploitasi nelayan mencapai puluhan ton.
Saat program SOLID melakukan pembinaan di desa Kilwaru beberapan tahun lalu, setiap bulan nelayan disana bisa menjual sebanyak 15 ton ikan demarshal. Ikan berbagai jenis ini merupakan hasil tangkapan dari nelayan -nelayan di enam dusun yang menjadi petuanan Desa Kilwaru yang meliputi, Dusun Kilwaru, Dusun Talang Baru, Dusun Maar, Dusun Kifar, Dusun Wawasa dan Dusun Namalas.
Nelayan di enam dusun ini yang sering menyuplai ikan segar ke ferderasi untuk diolah menjadi produk ikan asin dalam kemasan dan abon ikan. Hasil produksi ikan asin dan abon itu sudah merambah pasar kota Ambon hingga keluar daerah Maluku.
“Kami masih terkendala dengan angkutan kapal yang kami pakai untuk menampung hasil tangkapan ikan dari nelayan binaan SOLID,”ungkap Madja saat itu.
Ketua Koperasi Etarsia itu, sempat menjalin kerjasama dengan Federasi Karya Mandiri binaan program SOLID di Desa Kilwaru di tahun 2016 lalu, sebagai mitra untuk mendistribusikan hasil tangkapan ikan demarshal dari 10 kelompok mandiri binaan SOLID di Desa Kilwaru.
Belasan ton hasil tangkapan nelayaan binaan program SOLID SBT, berupa ikan mentah ini selanjutnya di pasarkan di kota Ambon, setelah ditampung oleh kapal Inka Mina 172 yang disewa oleh Koperasi Etarsia (*)