Cacatan : Dhino Pattisahusiwa (Pimred Beritabeta.com)

Pernah menonton film Pearl Harbor?, Jika pernah menontonnya, maka pasti pernah melihat sosok Presiden Amerika Serikat (AS) yang menggunakan kursi roda.

Dia bernama Franklin Delano Roosevelt, presiden ke-32 dalam sejarah berdirinya Negeri "Paman Sam".

Roosevelt dianggap sebagai salah satu presiden terbesar AS. Dia mampu membawa negara tersebut melewati Great Depression (Depresi Besar) dan Perang Dunia II. Roosevelt pun menjadi satu-satunya presiden yang berhasil terpilih hingga empat kali pemilihan.

Sosok yang dikenal dengan julukan "FDR", dan "Presiden yang Dicintai" ini ternyata mewariskan sebuah gagasan yang kini mendunia dalam sebuah pemerintahan.

Apa itu? Warisan tersebut tak lain adalah  “100 Days of Action” atau Program 100 Hari Kerja.

Banyak negara mengadopsinya termasuk Indonesia. Konsep ini dinilai sebagai salah satu cara untuk melihat keseriusan pemerintah dalam memenuhi janji-janji politik selama kampanye.

Di Indonesia, penilaian 100 hari kerja presiden menjadi tradisi sejak masa reformasi. Istilah ini digunakan untuk menilai komitmen presiden dan kabinet dalam mewujudkan janji-janji kampanye. 

Sejak era reformasi, tepatnya saat Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) memimpin, tradisi ini mulai muncul di Indonesia. 

Hal tersebut tentunya bisa dimaklumi karena saat itu, disadari perlunya pondasi awal yang kuat untuk toleransi dan persatuan bangsa. Konsep ini kemudian ikut menyasar ke setiap daerah. Bukan tanpa alasan, karena setiap calon kapala daerah ikut menyuarakan Program 100 Hari Kerja ke publik pada saat kampanye.

Padahal, kita tahu kepemimpinan di daerah, tidak bisa disamakan dengan kepemimpinan se tingkat Presiden. So pasti beda wewenang dan keterbatasan kuasa, terutama terkait kebijakan fiskal.

Artinya, mindset 100 Hari Kerja untuk kepemimpinan kepala daerah bukan pada tataran hasil, tapi pada  tataran sikap dan kebijakan, karena soal keberhasilan, tentunya membutuhkan banyak hal, selain waktu, juga kebijakan yang diambil pemerintahan setingkat di atasnya.

Dari sisi waktu, 100 hari terlalu singkat dijadikan pijakan penilaian soal keberhasilan kepemimpinan di daerah, apalagi masa kerja kepala daerah itu mencapai 5 tahun atau 1.826 hari kerja.

Simpelnya, setelah 100 hari kerja berlalu, masih ada 1.726 hari yang harus dijalani setiap pasang kepala daerah untuk membuat sebuah perubahan besar. Tapi banyak pula yang merasa waktu 5 tahun pun terlalu singkat untuk mewujudkan apa yang diimpikan.

Patokan waktu 100 hari memang tak salah menjadi ukuran. Apalagi publik di tanah air sudah terlanjur menjadikan kurun waktu ini dan membandingkan dengan apa yang pernah dilakukan pencetusnya yakni Presiden Franklin Delano Roosevelt.

Sejak masa pemerintahan FDR pada 24 Juli 1933, Negeri ‘Paman Sam’ yang  sedang menghadapi kemelut besar, memutuskan peluncuran gelombang besar kebijakan dan tindakan eksekutif untuk mengatasi krisis ekonomi yang melanda saat itu, dengan meloloskan 15 RUU melalui Kongres.

Pada tahun pertamanya menjabat, tingkat pengangguran di AS mencapai puncaknya sekitar 25%, atau sekitar lebih dari 12 juta warga AS yang kehilangan pekerjaan.

FDR dan pemerintahannya pun mengesahkan 15 RUU melalui kongres yang memiliki tujuan untuk meningkatkan lapangan kerja, membantu warga AS di negara bagian pedesaan, serta memberlakukan reformasi keuangan.

Selang satu tahun, pengangguran mulai menurun dan PDB negara AS juga mulai meningkat, sehingga FDR membawa kelegaan bagi jutaan masyarakat AS.

Tindakan cepat membuat 100 Hari Kerja pertama menjadi tonggak penting dalam sejarah politik AS. Sejak saat itu, setiap presiden AS yang baru menjabat dihadapkan pada ekspektasi tinggi untuk segera menunjukkan hasil dalam 100 hari pertama.

Pada tataran kepemimpinan seorang Presiden, pendekatan 100 Hari Kerja mungkin masih sangat relevan disandingkan dengan apa yang dilakukan Presiden FDR saat memimpin Amerika Serikat.

Hal ini lantaran kewenangan Presiden lebih besar, meliputi kebijakan mengatur Negara dengan berbagai regulasinya dan juga kewengan mengatur fiskal untuk memuluskan rencana kerja yang telah digodok.

Kadang ekspektasi publik terlalu tinggi menembus cakrawala nan biru, sehingga kita kerap melihat dan bertanya program apa yang sudah dijalankan Gubenur dan Wakilnya, Bupati dan Wakilnya dan juga Wali Kota dan Wakilnya di masa 100 Hari Kerja itu.

Pertanyaan ini memang tidak salah, tapi tidak bisa pula dibenarkan bila pendekatan pemikirannya berupa proyek atau pembangunan fisik. Tanpa sadar, kita lupa  meraka memimpin di level lapis kedua dan ketiga.

Kewenangan dan kebijakan mereka pun kerap tersandung dengan kebijakan yang ditetapkan pada kepemimpinan setingkat di atasnya yakni Presiden.  

Sebuah contoh konkrit yang dihadapi pemerintah di setiap daerah saat ini adalah kebijakan yang dikeluarkan  Presiden Prabowo Subianto yakni Efisiensi Anggaran tahun 2025, yang  tertuang dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 2025.

Keluarnya kebijakan ini sudah tentu akan berpengaruh langsung dengan kepemimpinan yang ada di level bawahnya. Pendeknya, pemeritah daerah harus merubah kembali skema dipakai sebelumnya. Tentu menggunakan skala prioritas program dari apa yang sebelumnya ditetapkan.

Maka idealnya penilaian 100 Hari Kerja setiap kepala daerah, lebih pas digunakan untuk melihat soal sikap, komunikasi dan jalinan kemitraan yang dibangun setiap pasang kepala daerah.    

Bila ukuran ini yang dipakai, maka secara "gentleman" kita harus mengakui dengan jujur,  masa 100 Kerja di Maluku di bawah kepemimpinan Gubernur Hendrik Lewerissa dan Wakil Gubernur, Abdullah Vanath, telah memanuhi apa yang menjadi harapan kita selama ini.

Kedua sosok ini telah memenuhi separuh asa rakyat Maluku dengan menunjukan sikap sebagai leaders, komunikatif dan juga mampu menjalin kemitraan yang intens dengan stakeholder bahkan pemerintah pusat dengan melakukan loby-loby yang menguntungkan Maluku.

Ini yang menjadikan keduanya sebagai pasangan pemimpin yang ideal bagi Maluku di masa mendatang.

"Like and dislike", mindset tentang  masa 100 Hari Kerja, tak bisa mengawang melampaui kewenangan setiap pemimpin. Apalagi untuk kepemimpinan di Maluku, realitas yang dihadapi lebih berat dari apa yang diimpikan publik.

Ketika Hendrik – Abdullah datang, kondisi Maluku dikekang warisan hutang yang menumpuk. Sumber-sumber PAD kita berupa BUMD tak mampu bangkit, akibat salah kelola dan mohon maaf, banyak dimakan ‘rayap’.  

Birokrasi pun jomplang, kerena disusun berdasarkan kedekatan dan keinginan, bukan kebutuhan. Fenomena ini menambah  runyam kondisi sosial masyarakat. Mereka yang antipati hanya duduk menonton, padahal kondisinya tidak menentu dan menjadikan Maluku tak lain ibarat tubuh yang mengidap penyakit kronis.

Maluku butuh amputasi. Yang tidak baik dibuang. Bukan sekedar infus dengan menambah hal baru. Birokrasi Maluku harus diisi oleh birokrat yang berkompeten, sehingga mampu menjalankan program dengan maksimal tanpa ada cemburu buta.

Jika di awal pemerintahan pasangan Lewerissa –Vanath mampu merubah kondisi ini, maka harapan yang tersirat dalam semboyan LAWAMENA, akan terwujud sesuai makna yang terkandung di dalamnnya, LAWAMENA yang berarti ‘Maju Kedepan”  akan tercapai di 1.726 hari tersisa.

Setidaknya, Hendrik – Abdullah sudah menunjukan chemistry yang elok dipadang mata sebagai pasangan pemimpin yang ideal, tampil bersama dalam setiap kesempatan dan juga menjadi inspirasi bagi setiap warga dengan sikap penuh terbuka dan kehangatan dalam melayani (*)