Abdulgani Fabanjo: Aktivis dan Pionir YPPM Maluku
Pengetahuan tentang organisasi yang diperolehnya, banyak menjadi dorongan dalam melihat sejumlah persoalan yang dihadapi di tengah masyarakat. Masa perkuliahan di almamaternya yang kini berganti nama menjadi Universitas Yayasan Pendidikan Islam (Uniyap) Jayapura, dapat diselesaikan pada tahun 1993. Modal sebagai sarjana ekonomi, kemudian mendorongnya untuk mencoba keberuntungan dengan bekerja di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT. Hutama Karya, perusahaan yang bergerak dalam bidang konstruksi.
Menjadi salah satu staf administrasi di perusahaan tersebut, membuat Abdulgani, akhirnya bisa berada di Kota Ambon pada tahun 1996.
Kota Ambon, bagi Abdulgani adalah tempat asing yang tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Namun, penugasan dari kantor sebagai Koordinator Pemasaran PT.Hutama Karya, akhirnya membawa suami Neny Fitriany Safril, bisa menetap di kota berjuluk “Manise”.
“Saat itu perusahaan kami membangun embung di Sermata, salah satu kawasan yang berada di Kabupaten Maluku Barat Daya (MDB), dan saya ditugaskan di Ambon sebagai Koordinator Pemasaran,” kenang dia.
Masa penugasan sebagai Koordinator Pemasaran BUMN Hutama Karya, akhirnya pupus dengan tragis. Setelah memasuki tahun ke-3, Kota Ambon dilanda konflik komunal yang akhirnya membuat aktivitas perusahaan pun mati total.
“Saya tidak lagi bekerja saat itu, dan fokus melihat persoalan –persoalan kemanusian yang timbul di masa konflik,” ungkap Abdulgani.
Koalisi Aktivis untuk YPPM
Ganasnya konflik komunal yang terjadi di kota Ambon tahun 1999, menjadi pukulan bagi sejumlah pihak. Kehidupan yang tersekat berdasarkan komunitas, ditambah kerumitan masalah keamanan, sosial dan ekonomi, telah menjadi babak baru kebangkitan civil society di Maluku. Sejumlah aktivis bergerak mendirikan wadah-wadah pergerakan sosial yang bertujuan membantu sesama masyarakat yang terkena dampak konflik. Fenomena itu menjalar dan menjadi ladang amal yang patut diapresiasi. Ambon dan Maluku pada umumnya menjadi tempat subur bagi tumbuhnya sejumlah LSM.
Di pusat Kota Ambon, berdiri megah Masjid Raya Alfatah. Bangunan kebanggaan umat Muslim Kota Ambon, menjadi tempat alternatif penampungan ratusan Kepala Keluarga (KK), pengungsi korban konflik. Kawasan Masjid Raya Alfatah Ambon yang juga memiliki sebuah rumah sakit, menjadi tempat pengungsian sementara bagi warga Muslim Kota Ambon. Ratusan hingga ribuan orang berada di kawasan itu. Hampir saban hari, terdengar tagisan dan teriakan histeris, tatkala konflik meradang. Korban akibat konflik terus dievakuasi ke Rumah Sakit Alfatah. Kota Ambon makin mence kam.
Melihat kondisi yang makin tidak karuan ini, sejumlah pemuda tidak mau larut dalam derita yang terus mengancam. Ayah Aris Adzuhuri Jihaddin dan Nadia Aulia, kemudian bergegas bersama sejumlah aktivis lain. Selama bertugas di Kota Ambon, Abdulgani telah banyak mengenal sesama rekan aktivis