Ambiguitas Kebijakan Peningkatan SDM Pemerintah Kabupaten Buru
Oleh : Moh. Ridwan Litiloly (Ketua Umum HMI Cabang Namlea)
PADA pembacaan Nota Keuangan di Gedung DPR/MPR Jumat (16/8/2019), Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa tema kebijakan APBN pada tahun anggaran 2020 akan berpusat pada Sumber Daya Manusia (SDM).
Presiden Jokowi menjelaskan tidak ingin agar bonus demografi yang terjadi di Indonesia menjadi sia-sia. Pasalnya, Indonesia sudah memasuki tahun-tahun penting untuk menjadi negara maju, yakni 2020-2024.
Serius dalam menyikapi hal tersebut, samapai-sampai tema kebijakan fiskal tahun 2020 adalah “APBN untuk Akselerasi Daya Saing melalui Inovasi dan Penguatan Kualitas Sumber Daya Manusia”. Hal ini didasarakan karena beliau percaya SDM bisa menjadi pembuka jalan menuju pertumbuhan ekonomi.
Selaras dengan hal tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Buru melalui Sekda Buru, Ilyas Bin Hamid yang menyampaikan pesan Bupati Ramly Ibrahim Umasugi saat membuka kegiatan Musrenbang tingkat Kecamatan Waplau Tahun 2021. Pesannya bahwa peningkatan kualitas SDM yang unggul dan berdaya saing menjadi satu dari tujuh prioritas pembangunan di Kabupaten Buru Pada tahun anggaran 2021.
Orientasi kebijakan Presiden Jokowi di periode kedua ini memang sedang gencar-gencarnya ke arah peningkatan SDM. Hampir semua kepala daerah menyelaraskan tujuan tersebut di daerahnya masing-masing. Terlepas dari membantu pertumbuhan ekonomi, hal ini juga sebagai bentuk ikhtiar pemerintah dalam menghadapi bonus demografi dan tantangan zaman yang serba digitalisasi.
Upaya peningkatan SDM memang membutuhkan sebuah road map yang jelas. Dengan alasan berada di era disrupsi, era yang sulit dihitung, era sulit dikalkulasi, era yang penuh resiko, Jokowi mengangkat Nadiem Makarim sebagai Menteri di salah satu lembaga Negara yang bertanggungjawab terhadap hal yang paling fundamental terhadap peningkatan SDM.
Dengan penunjukan Nadiem Makarim, pendiri sebuah perusahaan transportasi dan penyedia jasa berbasis daring yang beroperasi di Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara seperti Singapura, Vietnam, dan Thailand, kita dapat menarik sebuah konklusi tentang keseriusan Jokowi dalam menyiapkan SDM yang matang menghadapi era digitalisasi.
Jokowi menganggap Nadiem adalah orang yang mengerti betul mengenai pengelolaan dan penggunaan internet of Things (IoT), artificial Intelligence hingga big data. Bahkan Nadiem sendiri mengaku sebagai Mendikbud dia akan menjalankan visi Presiden Jokowi dalam pendidikan, menciptakan link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Terkait dengan hal tersebut, kita agak sulit dalam menelaah kebijakan Pemerintah Kabupaten Buru dalam upaya peningkatan SDM yang tertuang pada poin pertama dari tujuh prioritas pembangunan di tahun anggaran 2021.
Jika dicermati “SDM Unggul dan Berdaya Saing” menjadi sebuah kalimat ambigu yang belum bisa diterjemahkan mau dikemanakan orientasinya. Apakah mau diselaraskan dengan visi pemerintah pusat dalam pendidikan, yaitu menciptakan link and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Atau dengan format dan orientasi lain yang sesuai dengan kebutuhan daerah.
Hal ini tentunya harus didudukan secara tepat sehingga tidak terksan menjadi jargon-jargon birokrasi yang mengejar nilai normatif tampa mempertimbangkan keefektifanya. Apalagi beberapa waktu lalu masyarakat buru dihebohkan dengan kejadian abmoral yang justru dilakukan oleh peserta didik yang notabene sedang digodok sumber dayanya kedepan.
Kejadian abmoral tersebut tidak dapat dinilai sebagai bentuk kejahatan remaja semata, melainkan kesalahan mata rantai sistem di dunia pendidikan yang menumbuhkan penyakit social. Takutnya ini hanya sebagian dari effek gunung es, satu yang terungkap sedangkan yang lainya masih tertutup rapi.
Kejadian tersebut menurut Jalaludi Rahmat dalam Rakayasa Sosialnya menunjukan adanya gejala stres mental bagi peserta didik yang ada di Kabupaten Buru. Di mana ada perubahan yang harus masuk, namun sang penerima perubahan tidak siap secara mental dan psikisnya.
Ini menjadi pekerjaan besar bagi semua pihak terkususnya pemerintah dalam menyususn road map-nya untuk peningkatan kualitas “SDM Unggul dan Berdaya Saing”. Sehingga singkronisasi kebijakan dengan Pempus didunia pendidikan yang berpotensi membuka peluang terjadinya westernisasi, juga harus ada penguatan dari segi moral yang sesuai dengan norma-norma agama, adat dan budaya yang ada di masyarakat.
Dari hal ini tentunya kita dapat berkaca dari sistem Negara Jepang dalam upaya peningkatan SDM-nya. Di mana Jepang cepat mengadopsi sistem pendidikan Amerika Serikat, Jerman dan Perancis guna mereformasi dan memodernisasi pendidikan Jepang era Restorasi Meiji tahun 1868-1885.
Kaisar Meiji menghapus rezim feodal dan mendorong Jepang ke arah negara modern dan bersatu dengan slogan yaitu membangun peradaban dan mencerdaskan Bangsa (Bunmei kaika) serta “Makmurkan Rakyat, perkuat Angkatan Bersenjata” (Fukoku kyôhei).
Jepang memadukan model pendidikan Amerika Serikat dan Jerman sebagai tsugiki–sinergi dua pohon menjadi satu pohon guna mendapatkan kualitas pohon terbaik (Ken Kempner et al, 1999).
Pada tahun 1879, Kaisar Jepang merilis Kyôgaku taishi–Perintah Kaisar tentang Prinsip-Prinsip Pokok Pendidikan, yang berisi pendidikan karakter seperti tanggung jawab, loyalitas, berbakti dan kepahlawanan. Tahun 1880, pendidikan moral (Shûshin) diterapkan dan ditekankan dalam sistem pendidikan. Hasilnya, Jepang modern ala Eropa berbasis nilai Jepang. (***)