Oleh : Zulfikar Halim Lumintang, SST (Statistisi Muda BPS Kolaka, Sulawesi Tenggara)

Kemiskinan dan Covid-19 rasanya akan menjadi sahabat seperjuangan bagi Indonesia. Bagaimana tidak, Covid-19 telah berhasil membuat jutaan tenaga kerja di- PHK dan ratusan kepala keluarga meninggal akibat keganasannya.

Kedekatan kemiskinan dan Covid-19 nampaknya semakin intim, ketika BPS merilis angka kemiskinan Maret 2020, ya, tepat di awal masa pandemi mengurung Indonesia.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase penduduk miskin Indonesia per Maret 2020 berada pada kisaran 9,78% atau setara dengan 26,42 juta jiwa. Meski mencapai satu digit, angka tersebut sebenarnya mengalami peningkatan dari September 2019 yang mencapai 9,22%.

Dari tren persentase penduduk miskin tersebut, sebenarnya pemerintah "masih" berhasil mencapai target mereka yang realistis tersebut. Namun, nampaknya pemerintah ingin mencapai lebih dari itu.

Hal itu, tampak dari bermacamnya program bantuan untuk mengentaskan penduduk dari jurang kemiskinan. Presiden telah menunjuk Kementerian Sosial sebagai lembaga yang "mengurusi" penduduk miskin. Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2015 tentang Kementerian Sosial.

Dimana Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, perlindungan sosial, dan penanganan fakir miskin untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, dan inklusivitas.

Hal tersebut langsung direspons oleh Kementerian Sosial dengan menerbitkan program Rastra atau Beras Sejahtera pada 28 Agustus 2015. Dari segi historis, bantuan sosial berupa pemberian subsidi kepada masyarakat miskin tersebut sudah dilaksanakan berupa Raskin atau Beras Miskin.

Namun, Menteri Sosial pada waktu itu, Khofifah Indar Parawansa, mengubah nama Raskin menjadi Rastra dengan alasan agar beras yang disubsidi pemerintah untuk mengubah kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera.

Tujuan utama dilaksanakannya Program Bansos Rastra adalah untuk mengurangi beban pengeluaran dan meningkatkan akses masyarakat miskin dan rentan dalam pemenuhan kebutuhan pangan pokok (dalam hal ini beras) yang menjadi hak dasarnya.

Program Bansos Rastra sendiri menyasar keluarga dengan kondisi sosial ekonomi 25% terendah di wilayah kabupaten/kota yang namanya termasuk dalam Daftar Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial.

Daftar KPM Bansos Rastra bersumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang telah diverifikasi dan divalidasi oleh Pemerintah Daerah. Mereka yang menerima Bansos Rastra mendapatkan beras kualitas medium dengan jumlah 10 kg setiap bulannya tanpa biaya. 

Seiring berjalannya waktu, bantuan sosial yang digagas pemerintah tersebut kembali berevolusi menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Sama dengan Bansos Rastra, BPNT bertujuan untuk mengurangi beban pengeluaran KPM melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan.

Hal mendasar yang membedakan adalah pemerintah juga memberikan perhatian kepada usaha eceran rakyat untuk memperoleh pelanggan dan juga memberikan akses jasa keuangan kepada usaha eceran tersebut.

Dengan BPNT para KPM bisa mendapatkan beras dan atau telur yang nilainya setara maksimal Rp. 110.000,-. Saat pandemi, bantuan sosial juga makin banyak digelontorkan pemerintah untuk menjaga masyarakatnya agar tidak semakin terperosok pada jurang kemiskinan.

Sumbernya pun jelas dari revisi APBN yang ada pada Kementerian/Lembaga. Outputnya pun juga jelas, ada BST Covid-19, ada subsidi listrik, sampai pelonggaran angsuran kredit.

Namun, yang jadi permasalahan adalah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2021 sejumlah 27,54 juta jiwa, tentu saja jumlah tersebut sangat besar. Masih banyak ditemukan di lapangan bahwa bantuan sosial masih salah sasaran, orang yang tidak berhak menerima bantuan masih mendapatkan bantuan, karena menerima kartu tersebut.

Indonesia sebagai negara yang berdaulat memang harus melindungi hak para warga negaranya terutama penduduk miskin.

Bantuan Sosial dari pemerintah tidak mungkin bisa diharapkan terus menerus oleh masyarakat. Pemerintah harus memberikan bantuan lain berupa beasiswa untuk para siswa yang masuk dalam keluarga miskin.

Dengan begitu, anak-anak yang berasal dari keluarga miskin bisa melanjutkan pendidikannya. Sehingga, dalam jangka panjang anak tersebut bisa mengangkat keluarganya dari kemiskinan karena telah mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang layak. Karena tidak bisa dipungkiri bahwa kemiskinan selalu dekat dengan putus sekolah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat, pada tahun ajaran 2020/2021 terdapat 2.790 siswa Sekolah Dasar (SD) yang putus sekolah.

Pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 976 siswa putus sekolah. Untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) jumlah siswa putus sekolah sebanyak 54 siswa. Sedangkan untuk pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak 25.342 putus sekolah pada tahun ajaran 2020/2021.

Oleh karena itu bantuan sosial harusnya terus ditambah fokusnya ke pendidikan siswa miskin. Dimasa pandemi Covid-19 ini, sekolah dari rumah pasti menjadi pilihan utama para anak-anak untuk tetap mendapatkan pendidikan.

Hal ini harusnya menjadi solusi juga bagi anak-anak miskin yang selama ini tidak bisa sekolah alias putus sekolah karena orang tuanya tidak mampu membayar uang sekolah.

Pemerintah cukup menyediakan bantuan pulsa dan alat komunikasi bagi para siswa miskin tersebut. Dengan begitu, semua anak bisa mengakses pendidikan tanpa terkecuali.

Dengan begitu, akan ada lawan sebanding bagi kemiskinan yaitu pendidikan. Dengan penguatan pendidikan kepada para generasi muda yang berbasis wirausaha, nantinya akan semakin banyak juga lapangan usaha yang bisa dibuka oleh mereka di negeri kita tercinta Indonesia. Sehingga tunas kemiskinan akan berubah menjadi tunas harapan (*)