Dalam konteks pemberantasan korupsi, Kejari Ambon harus berdiri di tengah. Tunjukkan komitmen dan integritasnya selaku penegak hukum yang adil. Hindari sikap tebang pilih alias pilih kasih.

Siapapun oknum yang ditengarai menyelewengkan anggaran Rp5,3 miliar pada DPRD Kota Ambon itu sepatutnya ditindak sesuai hukum yang berlaku.

Apalagi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia telah disahkan oleh DPR.

UU Kejaksaan yang baru ini memberikan kewenangan yang luar biasa bagi aparatur kejaksaan di Indonesia termasuk Kejari Ambon dalam menangani kasus/perkara pidana khususnya lagi tipikor.

Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin pun telah memberikan catatan khusus terkait UU dimaksud. Arah penegakan hukum harus dilakukan dengan lebih mengedepankan keadilan restoratif sebagai salah satu perwujudan dari diskresi penuntutan serta kebijakan leniensi.

Prinsip keadilan hukum harus menjadi hal yang utama dalam setiap upaya penegakan hukum yang dilakukan dengan cara menimbang antara kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, serta menyeimbangkan yang tersirat dan tersurat berdasarkan hati nurani.

Kewenangan intelijen tidak hanya untuk kepentingan Kejaksaan, melainkan juga untuk kepentingan negara dalam proses penegakan hukum.

Harapannya penanganan perkara dugaan korupsi DPRD Kota Ambon tersebut hingga akhir prosesnya jangan ada yang merasa dikorbankan atau menjadi tumbal.

Dalam hal penetapan tersangka nanti, Kejari Ambon sepatutnya menjerat oknum yang memang jelas terbukti menyelewengkan anggaran Rp5,3 miliar.

Tujuh item temuan BPK yang terindikasi fiktif dengan total Rp5.293.744.800 itu harus diungkap secara transparan.

Bila nanti ada pihak terkait yang mengembalikan uang kerugian negara/daerah, Kejari Ambon tidak boleh tawar-menawar pasal. (*)